Ilusi Demokrasi sebagai Solusi

Daftar Isi


siddiq-news.com - Baru-baru ini agenda tahunan yang diselenggarakan di Bali yakni Bali Democracy Forum (BDF) pada Kamis (08/12/2022) yang kini berusia 15 tahun mengusik fokus publik. Pasalnya Menlu dalam sambutannya justru memberikan fakta data yang cukup mencengangkan, Membingungkan dan memanaskan publik.


Kenapa tidak? Sebagaimana penulis kutip dari media Kompas bahwa Menlu justru membuka data survei tentang kemunduran demokrasi pasca analisis menghadapi dan penyelesaian masalah pandemi hingga hari ini. Survei yang dikutip oleh Menlu dari International IDEA dan survei Freedom House menunjukkan bagaimana demokrasi yang digadang akan menjadi pedoman, penunjang, obat dan perisai dalam menghadapi masalah dan menyelesaikan justru nihil.


Memang, jika kita sibak fakta-fakta bagaimana demokrasi menjadi wadah kehidupan dan penghidupan dari dulu hingga kini, akan kita dapati banyak kecacatan dan ketidakmampuan. Entah itu dari segi ekonomi yang karut-marut, karena sistem kapitalis yang terterapkan akan memberikan ruang ganda para pengusaha dan pemodal, yang justru mempersempit ruang bagi si miskin dan jelata.


Pun jika kita melihat dari segi sistem pendidikan. Yang banyak melahirkan kematian anak usia dini, entah itu karena bulliying dan sejenisnya. Tidak memberikan peningkatan dari peringkat terbelakang atas minat baca dan menurunnya kualitas pendidikan pada pelajar.


Dari sisi kesehatan yang banyak kekacauan, selain karena serangan brutal pandemi kemarin, keribetan pengurusan BPJS menjadi salah satu penyebab kekacauan. Ada berapa kasus kematian yang terjadi karena terkendala administrasi. Seakan nyawa tak lebih berharga dari data-data pada secarik kertas.


Masalah moral yang terkikis karena abainya perhatian pemerintah. Tidak ada filter akan tontonan, pergaulan dan kebebasan yang membuat kebangkrutan moral. Anak-anak memukuli gurunya, anak sekolah menendang orang tua, anak muda memutilasi pacarnya, orang tua memperkosa anaknya. Dan masih terlalu banyak kemaksiatan yang terjadi karena moral yang hilang ditelan tontonan dan kebiasaan hidup tanpa aturan.


Jika kita benar-benar menjadi pemerhati negeri yang kita cintai ini. Benar-benar menjadi warga negara yang bersimpati untuk melihat luka yang banyak pada Ibu Pertiwi. Yang benar-benar peduli pada kesehatan negeri yang diperjuangkan pahlawan tanpa henti. Harusnya kita sudah mampu melihat bahwa demokrasi takkan pernah bisa memberi solusi untuk setiap masalah yang merundung negeri tercinta ini. Tersebabkan aturan yang tumpang tindih, yang tajam ke bawah tumpul ke atas, yang lahir dari ego dan keserakahan wakil-wakil rakyat. Betapa mengenaskan. 


Maka, jika terdapat manusia-manusia angkuh yang masih petantang-petenteng berkoar bahwa demokrasi berhasil dan akan membangkitkan, inilah definisi mimpi, ilusi yang sebenarnya. Ketika mereka disuguhkan sistem yang telah memberi bukti selama hampir 14 abad lamanya, itulah yang justru mereka sebut sebagai mimpi. Entah, teori gaya gravitasi apa yang sedang dipakai benaknya hingga tidak menemukan kedudukan kebenaran.


Yah, sekian tahun para pahlawan berjuang, menghabiskan sisa hidup di medan pertempuran, tidur di atas darah, lalu bangun untuk berdarah. Berteriak menggelegarkan semangat untuk kemenangan dan kebangkitan. Namun kini, semua disia-siakan oleh sistem yang tak memberikan peng-aminan pada cita-cita mulia.


Mereka berkoar ilusi pada sistem Islam, padahal nyatanya ilusi kebangkitan dan solusi dari segala soalan negeri ada pada demokrasi.


Sepertinya kita hanya perlu menekan sedikit ego kita untuk sekadar menyaksikan kebenaran. Dan tidak terbutakan rasa nyaman tertekan sistem. Entah karena terbiasa menderita dipimpin aturan manusia, atau hati telah mati terselimutkan duka untuk melihat cahaya pencipta. Entahlah. Wallahu a'lam bi ash-shawwab. 


Penulis : Habibah Nafaizh Athaya 

(Kontributor Media siddiq-news.com)