Kapitalisme Menyuburkan Sikap Otoriter

Daftar Isi


SIDDIQ-NEWS -- Pemerintah atau penguasa identik dengan pelegalisasian aturan, pasal-pasal, dan perundang-undangan. Biasanya dalam perkara aturan, pemerintahlah yang berwenang. Termasuk masalah-masalah baru yang muncul dalam negeri, maka pemerintahlah yang sigap dalam menganalisis terkait solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah yang ada.


Di samping itu, pemerintah merupakan wakil rakyat. Maka seluruh peraturan yang ditetapkan sudah seharusnya berdasarkan kebutuhan rakyat. Kemudian menelaah secara menyeluruh, apa-apa yang sekiranya bermanfaat untuk rakyat, bukan hanya dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjangnya. Sehingga setiap individu rakyat dapat sejahtera dan aman ketika tinggal dalam sebuah negeri, yang aturannya berdasarkan kemaslahatan umat.


Namun yang terjadi malah sebaliknya. Pemerintah pada masa ini cenderung menetapkan bahkan melegalisasikan perundang-undangan yang jauh dari kemaslahatan umat. Sebagaimana yang penulis kitip dari babel.antaranews.com (21/09/22) bahwa Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah memasuki finalisasi dan akan disahkan akhir tahun ini. Dimana pasal-pasal di dalamnya berkaitan dengan kebebasan berpendapat, penodaan agama, aborsi, perzinaan, penggelandangan masyarakat, dan lebih banyak lagi.


Beberapa pasal di atas begitu kontroversial dan pemerintah tidak terlalu menggubrisnya bahkan cenderung otoriter dalam menetapkan peraturannya. Misalnya saja berkenaan dengan kebebasan berpendapat yang dalam hal ini, masyarakat tidak boleh menghina kepala negara perihal mengkritisi kebijakan yang dibuat atau hukum yang sudah dilegalisasikan. Kemudian jika melanggar maka akan ditindak pidana.


Sungguh luar biasa, demokrasi yang katanya terkandung empat pilar kebebasan yang salah satunya adalah kebebasan berpendapat tidak memiliki kesesuaian sama sekali dengan RKUHP yang akan disahkan itu. Sehingga hal tersebut sama saja dengan menjadikan rakyat itu sebagai budak, hanya bisa menerima tanpa mampu mengkritisi kebijakan yang dibuat.


Di satu sisi, bukannya tidak mungkin semua masyarakat hanya akan menjadi robot yang berjiwa saja, karena haknya dalam menyampaikan kritik sudah dicabut. Ironisnya lagi, masyarakat dipaksa untuk menerimanya dan jika tidak, sudah tentu tindak pidana akan didapatkannya sebagai akibat membangkang kepada pemerintah atau penguasa.


Kemudian, pasal mengenai aborsi, dimana pada pasal ini, pelaku aborsi tidak akan dipidana jika pelakunya adalah korban pemerkosaan dan janin yang dikandungnya berusia muda atau dibawah 6 minggu. Pasal ini menunjukkan ketidakprihatinan pemerintah terhadap nasib dari ibu dan anak yang dikandungnya itu. Yang mana, ketika melakukan aborsi bukan hanya nyawa janinnya yang dipertaruhkan bahkan nyawa ibunya pun bisa melayang. Di satu sisi, seharusnya dalam pasal ini termaktub juga mengenai pelaku pemerkosaan dengan tindak pidana yang memberikan efek jera kepada rakyat. Tetapi hal tersebut hanyalah khayalan dan tidak akan terwujud dengan sistem Kapitalisme. 


Sistem Kapitalisme ini menjadikan setiap penguasa untuk menetapkan peraturan berdasarkan asas manfaat. Dan manfaat yang dimaksud hanyalah untuk para penguasa, korporasi, dan oligarki. Bahkan lebih parah lagi, individu penguasa tidak memperhitungkan bagaimana nasib rakyatnya akibat hidup hanya untuk manfaat pribadi semata.


Sikap otoriter dari pemerintah ini merupakan didikan dari penerapan sistem Kapitalisme yang berasaskan Sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, kemudian menjurus pada pemisahan agama dari negara. Hal ini sudah mendarah daging di tengah para penguasa. Sehingga menjadikannya hidup hanya untuk memperoleh materi semata, bahkan dengan cara menjadikan rakyat sendiri sebagai budak keuntungan pribadi.


Di satu sisi, sistem ini menjadikan setiap penguasa tidak adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom umat, terutama dalam menetapkan pasal-pasal. Bahkan pasal-pasal yang dibuat pun tidak memiliki kesesuaian dengan pilar-pilar kebebasannya, apalagi perkara HAM. Sunggu sistem Kapitalisme tidak menjamin adanya aturan yang satu dan tepat sasaran karena sistem ini bukan mengatur masyarakat tetapi individu terkhusus para pemilik modal. Jika pemilik modal ingin perubahan undang-undang maka pasti akan terjadi. Tidak bisa dimungkiri karena sistem Kapitalisme hanya mengenal materi dan asas manfaat semata.


Berbeda dari sistem Kapitalisme, sistem Islam justru menstandarisasikan pelegalisasian sebuah hukum harus berdasarkan ketetapan Allah Swt. juga Rasulullah saw.. Kemudian cara pandang dalam menyelesaikan setiap permasalahan umat pun harus pada Al-Qur'an dan Assunah. Apalagi mengenai pasal-pasal. Islam menetapkan berbagai pasal-pasal hanya untuk kemaslahatan umat. Di satu sisi, seorang penguasa itu adalah pengurus, pengayom, dan pelayan umat. Maka menjadi tugas penguasa untuk memikirkan kemaslahatan umat. Terutama dalam menentukan pasal juga harus berdasarkan kemaslahatan umat bukan individu saja.


Sebagaimana sabdanya Rasulullah saw. bahwasanya, "Imam atau Khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari).


Maka, hendaklah setiap pemerintah atau penguasa bersinergi dalam mengurus rakyatnya dan segala yang dibutuhkan rakyatnya harus tersedia tanpa menundanya. Kemudian dalam Islam sendiri, tidak akan ditunjuk seorang penguasa tanpa kepribadiannya tidak berkepribadian Islam. Maksudnya pola pikir dan pola sikapnya islami. Karena jika tidak, penguasa seperti itu akan otoriter, memaksakan kehendak termasuk tidak adil serta tidak manusiawi. 


Sehingga untuk memiliki aturan serta penguasa yang adil haruslah mengembalikan semuanya kepada sistem yang benar yakni Islam. Namun sistem Islam tidak akan bisa diterapkan tanpa adanya Khilafah Islam, negara yang mengikuti metode kenabian. Negara yang menggunakan aturan Islam secara totalitas, dengan para penguasa yang adil serta amanah. Di samping itu, Islam memancarkan peraturan untuk mengatur masyarakat secara menyeluruh dan bukan individu. 


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Penulis : Siti Nurtinda Tasrif

(Aktivis Dakwah Kampus)