Menampilkan Kemewahan Pada Saat yang Tidak Tepat

Daftar Isi

 


Shiddiq.news.com--Berita gempa bumi sejak bulan November lalu hingga pertengahan Desember terus terjadi saling susul menyusul mengguncang pulau Jawa. Derita yang dialami oleh masyarakat dari mulai merasakan takut dan panik, kehilangan rumah hingga keluarga. Hingga saat ini menunggu bantuan dari pemerintah yang tak kunjung merata pembagiannya. Rasa iba dan empati dari banyak pihak serta doa yang tulus untuk saudara yang menjadi korban bencana terus dipanjatkan kepada Sang Pencipta. 


Negara ini tidak hanya sedang menghadapi bencana alam, namun juga banyak jiwa yang merasakan kekhawatiran terjadinya PHK dari perusahaan-perusahaan startup yang memungkinkan mengancam sumber mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga. Harga jual hasil pertanian masyarakat anjlok dan meningkatkannya harga BBM juga harga-harga bahan pokok membuat rakyat menanggung beban berat untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 


Berbagai masalah negeri ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi mendasar bagi masyarakat. Namun disisi lain sang pengusa negeri seolah tanpa rasa empati menikmati rasa bahagia menyelenggarakan pesta pernikahan mewah dengan menampilkan segala bentuk kebahagiaan dan kemewahannya kepada seluruh masyarakat.


 Dilansir dari Kompas.id pada ( 08/12/2022), sebanyak 11.800 orang personel pengamanan dari TNI dan Polri dikerahkan untuk mengamankan berlangsungnya  acara hajatan selama dua hari.


Dikutip dari Tribunnews pada (6/12/2022), jajaran menteri pun ikut mengurusi acara pernikahan putra sang pemimpin. Ada lima menteri yang terlihat sibuk mengurusi pernikahan tersebut yaitu Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Pratikno Menteri Sekretaris Negara, Erick Tohir Menteri BUMN, Budi Karya Sumadi Menteri Perhubungan, dan Bahlil Tahadiala Menteri Investasi. 


Benar sebuah pernikahan harus disyiarkan, namun kurang tepat rasanya menampilkan segala bentuk kemewahan perayaan pernikahan anak pemimpin disaat rakyat tengah mengalami sederet derita yang seharusnya perlu mendapatkan perhatian lebih dari sosok pemimpin dan pemerintah. 


Nampaknya negeri ini perlu mempelajari bagaimana memiliki rasa empati. Bagaimana mungkin saat kondisi rakyat menderita dan berduka justru menampilkan kemegahan dan kemewahan acara keluarga. Tidak  bisakah cukup menyiarkan akad nikah saja tanpa perlu pamer mengumbar kemewahan saat rakyat terhimpit persoalan ekonomi? 


Tugas pemerintah adalah mengurusi rakyatnya. Peristiwa semacam ini terjadi dalam sistem kapitalisme yang mendorong banyak diantara para pejabat dan pemimpin berlomba menunjukkan gaya hidup mewah dan serba wah sebagai rasa bangga telah menduduki jabatan tertentu atau mendapat pundi-pundi penghasilan yang selangit tanpa peduli bagaimana kehidupan sederhana rakyatnya. 


Umar bin Abdul Aziz seorang pemimpin Islam pernah memberikan contoh bagaimana amanahnya dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala negara sekaligus rela meninggalkan segala kemewahan hidupnya. Beliau pernah memadamkan lampu di ruang kerjanya hanya karena seorang putranya datang menemuinya dan hendak membicarakan persoalan keluarganya. Beliau tidak mau menggunakan lampu yang dibayar menggunakan uang negara sekali pun untuk urusan pribadi yang sangat singkat. Hal itu terjadi karena beliau sangat memahami kapan harus menggunakan fasilitas negara dan kapan menggunakan milik pribadi.


 Jangankan untuk menurunkan pasukan pengamanan untuk mengamankan acara mewah, sekadar menggunakan lampu penerang saja beliau menolak. Demikianlah kesahajaan sosok pemimpin dalam sistem Islam. Namun sayang hari ini kita tidak mendapati sosok seperti Umar bin Abdul Aziz jika masih saja terus berada pada sistem kapitalisme. 


Maka sudah saatnya kita kembali pada bagaimana sistem Islam mengurusi urusan dunia. 


Wallahu a'lam bisshawab


Penulis: Nafeezah Syazani Alifiana

 (Pemerhati Kebijakan Publik Andoolo)