Pencabutan PPKM, akankah Rakyat Tenteram?

Daftar Isi

 


PPKM Dicabut Sementara Pandemi Masih Berlangsung. Sudah Tepatkah Keputusan Ini?


Setiap Keputusan dan Kebijakan Semestinya Diambil Didasarkan pada Aspek Pengurusan Urusan Rakyat Secara Keseluruhan 


Penulis : Ummu Muthya

Ibu Rumah Tangga


Siddiq-news.com -- Pemerintah telah resmi mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh Presiden Jokowi Pada hari Jumat (12/20/2022).  Sudah tepatkah kebijakan ini diberlakukan? 


Sebagaimana yang penulis kutip dari media VOA Indonesia (30/12/2022). Menurut juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad  Syahril bahwa angka Covid-19 di Indonesia telah menurun. Parameternya, jumlah kasus berada di bawah 1000 perhari, dengan tidak ada lonjakan kasus signifikan dalam 10 bulan terakhir, dan angka perawatan dan kematian di rumah sakit terus menurun. Meski demikian ia meminta masyarakat tetap waspada akan kemunculan subvarian baru dengan tetap menggunakan masker dan melakukan vaksin agar membantu meningkatkan imunitas. 


Kewaspadaan memang harus tetap dilakukan, terutama ketika ada kabar bahwa Jepang dan Cina mengalami lonjakan kasus pasca pemerintah mengumumkan pelonggaran aktivitas masyarakat. Artinya, pemerintah Indonesia bisa mewujudkan kewaspadaan tersebut dengan memberlakukan aturan ketat terhadap turis asing yang datang ke Indonesia. Ini pun jika pemerintah benar-benar ingin menunjukkan penjagaannya kepada masyarakat, bukan alasan lain seperti awal mula kasus Covid masuk ke Indonesia, yakni karena kunjungan wisata dan ekonomi. 


Pandemi Covid-19, tak mungkin selesai jika dunia dan pemerintah tak fokus pada keselamatan nyawa manusia, dan masih menggunakan asas Kapitalisme dalam kegiatannya. Ketika Kapitalisme dijadikan acuan dalam setiap kebijakan, negara akan  lebih memprioritaskan urusan kapital dibanding kesehatan atau keamanan rakyat. Buktinya, selama pandemi melanda negeri ini, ribuan korban berjatuhan baik dari tenaga kesehatan atau umum tanpa ada upaya riil negara menjaga masyarakat seperti lockdown atau pemenuhan kebutuhan rakyat secara optimal. Masker, tabung oksigen, bahkan vaksinasi saja harus dibeli dan dicari sendiri oleh masyarakat karena adanya praktik kapitalisasi, belum termasuk kebutuhan pokok masyarakat.  


Dalam sistem Kapitalisme, materi adalah prioritas utama untuk keberlangsungan kegiatan ekonomi. Negara berharap agar masyarakat lebih bebas beraktivitas di luar tanpa ada aturan yang ketat. Dengan demikian, perekonomian negara akan meningkat dan keuntungan bagi para pemilik modal juga bertambah. Inilah watak buruk dari sistem Kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakat.


Sejatinya, kesehatan merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi demi menjaga nyawa manusia. Dalam Islam, penjagaan kesehatan termasuk dalam mencegah wabah agar tidak menyebar, merupakan tanggung jawab individu dan negara. Adapun salah satu bentuk tanggung jawab negara dari penyakit menular adalah  dengan memberlakukan social distancing, sebagamana sabda Rasulullah: 


"Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu, sebaliknya jika wabah itu terjadi di tempat tinggal kalian, janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (HR. Al-Bukhari) 


Setiap individu wajib menjaga kesehatan dirinya. Namun, penjagaan kesehatan individu terhadap dirinya tentu terbatas karena sumber daya yang juga terbatas. Alat-alat kesehatan yang harganya mahal tidak akan bisa dimiliki individu. Oleh karena itu, selain adanya ikhtiar individu untuk menjaga kesehatan, dibutuhkan juga jaminan dari negara. Selain karena negara adalah pelindung umat, juga sebagai pelaksana maqashid syariat antara lain hafiz annafs (penjaga jiwa/nyawa).


Dalam kondisi pandemi, pemimpin dalam Islam harus ekstra dalam menyediakan layanan kesehatan bagi warganya, tak hanya fasilitas dan tenaga medis, negara juga harus menyediakan vaksin dan obat untuk pencegahan, dan pengobatan penyakit yang tengah mewabah. Semua pelayanan rumah sakit dan laboratorium tes, dan lain-lainnya ditanggung negara. 


Dalam penanganan pandemi, negara Islam tidak akan melakukan pelonggaran-pelonggaran hanya karena faktor ekonomi. Hal ini didukung oleh keuangan yang berasal dari Baitulmal. Negara akan melakukan lockdown dengan menutup tempat yang terpapar virus. Sehingga tidak terjadi penyebaran virus ke luar daerah. Yang terpapar virus tetap bisa beraktivitas seperti biasa, termasuk kegiatan ekonomi. Negara dalam hal ini akan memenuhi seluruh kebutuhan selama masa karantina. Negara juga akan berupaya menemukan vaksin dan memproduksinya secara masif dan mendistribusikannya ke tengah masyarakat atau seluruh dunia secara gratis. 


Demikianlah, penguasa tidak akan berlepas tangan terhadap penanganan pandemi, bahkan akan bertanggung jawab penuh terhadapnya. Meski jumlah kasus sudah melandai, kemungkinan terburuk tetap harus diantisipasi. Penyediaan layanan kesehatan yang terbaik oleh negara, didukung dengan sikap rakyat yang kooperatif, akan mempercepat penyelesaian pandemi.


Demikianlah gambaran nyata pemimpin dalam sistem Islam pada saat menyelesaikan pandemi. Penyelesaian ini hanya lahir dari pemimpin yang berlandaskan akidah Islam di setiap kebijakannya. Pemimpin yang benar-benar berfungsi sebagai raa'in untuk rakyatnya, baik muslim atau nonmuslim berada di bawah tangung jawabnya. Rasulullah saw. bersabda:


"Imam/pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Al-Bukhari)


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.