Sekulerisme Membatasi Fungsi Masjid

Daftar Isi

Masjid hanya sebagai Tempat Ibadah Privat


Upaya Pengkerdilan Ideologi Islam dari Kehidupan


Oleh: Nur Saleha

Praktisi Pendidikan


Siddiq-news.com -- Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden menegaskan bahwa masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik (parpol) dan lainnya. 


Beliau menyampaikan hal tersebut usai adanya pengibaran bendera salah satu parpol di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat. (Republika[dot]co, 08/01/2023).


“Saya pikir itu sudah ada aturannya ya, bahwa tidak boleh kampanye di kantor pemerintah, di tempat-tempat ibadah, dan di tempat pendidikan. Itu saya kira sudah ada (aturannya),” ujar Ma’ruf dalam keterangan persnya (Bogor, Sabtu, 7-1-2023).


Oleh sebabnya, sesuai UU 7/2017 tentang Pemilu yang di dalamnya menjelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye, ini diperuntukkan untuk seluruh parpol peserta pemilu harus menaatinya. 


Adanya kejadian itu semakin membuka buruknya sistem buatan manusia, yakni Sekularisme telah membatasi fungsi masjid bahwa hanya boleh digunakan sebatas tempat ibadah privat atau mahdhah semata, seperti halnya fungsi gereja sebagai asal mula pemahaman yang memisahkan peran agama dari kehidupan. 


Terbukti bahwa Sekulerisme telah membatasi tempat ibadah hanya untuk mengatur urusan privat manusia dengan penciptanya. Lain halnya, di ruang publik, peran agama dihilangkan atau telah dijadikan sebagai spirit dan formalitas belaka. Diakui atau tidak, bagi negara demokrasi, dalam pemilihan wakil-wakil legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, secara otomatis mereka menjadikan sekularisme sebagai “way of life”.


Lebih menyedihkan nya lagi, adanya propaganda sekularisme ini juga disampaikan oleh para tokoh Islam atau pejabat Islam yang notabene dianggap sebagai representasi suara kaum muslim. Tentunya pendapat atau pernyataan mereka akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi masyarakat dan para pengikutnya. Apalagi pada tahun-tahun politik yang makin memanas menjelang pemilu, mereka sering sekali menyampaikan berbagai pandangan yang justru kontradiktif dengan akidah Islam. 


Ketika mereka membuat propaganda, misalnya, sama saja mereka sedang membatasi dan berupaya menghilangkan Islam dalam ranah ibadah semata. Sejatinya, Islam merupakan sebuah ideologi atau way of life yang telah mengatur urusan ibadah privat sekaligus urusan masyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, akidah Islam adalah akidah ruhiah dan siyasah.


Adanya pernyataan bahwa masjid dibatasi hanya diperbolehkan untuk urusan ibadah mahdhah ini merupakan upaya para penjajah melalui kaki tangannya untuk mengerdilkan atau menghilangkan ideologi Islam dari kehidupan. Mereka melakukan berbagai upaya untuk memunculkan pemahaman yang salah di tengah-tengah umat terkait makna politik dan masjid. Bahwasannya, masjid adalah tempat “suci” sehingga hanya boleh untuk beribadah mahdhah saja dan tidak boleh ada aktivitas politik.


Sejatinya, politik yang kotor yakni cerminan dari politik demokrasi, sistem yang mereka pakai saat ini. Munculnya kekhawatiran berpecah belahnya umat akibat masjid dijadikan tempat berpolitik dikarenakan lemahnya pemahaman dalam diri umat akan politik itu sendiri. Padahal, politik dalam demokrasi hanya terbatas pada politik praktis saja, sebagaimana yang diamalkan oleh parpol saat ini. 


Ancaman terpecahbelahnya umat juga muncul ketika partai Islam turut terjebak pragmatisme. Mereka lebih mengedepankan kepentingan kelompok, bukan kepentingan umat secara keseluruhan. Hal ini niscaya dalam sistem politik demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai ruh-nya dan kemanfaatan sebagai tolok ukurnya.


Dan bahkan, sistem demokrasi buatan manusia ini tidak dapat membuktikan slogannya sendiri, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” atau “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Adanya praktik-praktik oligarki yang ada saat ini, kemudian maraknya kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan, merupakan bukti nyata yang tidak bisa dibantahkan lagi. 


Beda halnya dengan ideologi Islam, dalam Islam termanifestasi pada penerapan Islam dalam ranah politik. Bahkan, sebagian besar hukum Islam mengatur masalah politik atau hubungan antara manusia dan manusia lainnya. Oleh sebab itu, ketika politik Islam dijauhkan dari masjid, ini adalah upaya untuk menjauhkan umat dari politik Islam yang sesungguhnya.


Hal ini berbeda dengan fungsi masjid sebagaimana Rasulullah Saw. contohkan. Pada masa itu, masjid menjadi pusat berbagai kegiatan, mulai dari ibadah, pendidikan, hingga urusan  kenegaraan. 


Dibahas pula di dalamnya berbagai macam problematik umat, baik individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, maupun terkait dengan orang lain (muamalah). Di sinilah letak kekomprehensifan Islam sebagai akidah yang paripurna yang sudah pasti dapat menyelesaikan seluruh urusan, baik individu, masyarakat, msupun beregara.


Umat Islam hingga kini akan terus diarahkan untuk menyimpang dari politik Islam yang sebenarnya. Sebab, umat telah dihidangkan dengan konsep politik demokrasi yang sejatinya sudah sangat jelas keburukannya dan berdampak  merusak segalanya yang luar biasa. 


Walhasil, upaya mereka untuk menjauhkan masjid dari politik Islam adalah bentuk ketakutan dari penjajah akan kembalinya pemahaman Islam yang sesungguhnya di tengah-tengah umat sebagai ideologi yang merupakan titik awal kesadaran untuk melanjutkan kehidupan Islam yang paripurna. Wallahu a'lam bishawwab.