Minyak Kita Naik Lagi, Bukti Penguasa Dicengkeram Oligarki?

Daftar Isi

 


Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. 


Negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalis.


Oleh Aisha Besima

(Aktivis Muslimah Banua)


Siddiq-news.com -- Bak jatuh tetimpa tangga, itulah perumpamaan yang pas untuk menggambarkan keadaan masyarakat negeri ini. Belum pulih kondisi ekonomi masyarakat pasca pandemi, di tengah badai PHK massal yang dihadapi, belum lagi banyak para petani merugi. Kini masyarakat ditambah beban lagi dengan kenaikan bahan pokok dan salah satunya minyak goreng kita. 


Melansir kompas (3/2/2023), minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, MinyaKita, mendadak langka di sejumlah daerah. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak hingga Rp 20.000 per liter. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter. Harga minyak goreng pemerintah dengan merek MinyaKita sudah jauh melambung di atas Rp 14.000 per liter.


Kelangkaan minyak kembali terjadi, justru pada produk yang dipersiapkan untuk menekan harga minyak. Hal ini menggambarkan adanya kesalahan pengelolaan pemenuhan salah satu kebutuhan rakyat.


 Meski telah dibuat  kebijakan, namun selama kapitalisme masih menjadi asas, maka kebijakan tersebut tak akan mungkin memecahkan persoalan.  Semua pengusaha menjadikan keuntungan sebagai  tujuan, karena itu tak mungkin ‘bersedia’ memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah.


Permainan para oligarki dan pemerintah seakan berjalan seirama dalam satu ketukan kebijakan. Pastinya keuntungan berdendang menuju kantong para oligarki. Aroma penimbunan memang sangat tercium dalam ranah sistem kapitalisme. Dimana para pemilik modal bisa melakukan apa saja demi mewujudkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya.


Sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini dan dunia, memang berasaskan manfaat alias orientasi keuntungan. Asas manfaat ini akan terus diwujudkan dengan cara apapun tanpa peduli norma kehidupan dan nasib rakyat. Sistem kapitalisme juga memiliki prinsip bahwa rakyat tak boleh menjadi beban negara. 


Walaupun ada kemauan negara untuk memberikan kemudahan atas masyarakat tentu saja akan berhadapan dengan oligarki dengan berbagai tekanannya.  Sehingga, yang terjadi dalam sistem ini mendorong negara berlepas tangan dari semua urusan rakyat. 


Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Negara bersistem Islam berfungsi sebagai pemimpin yang terdepan dalam menjamin pengadaan kebutuhan pokok (termasuk Migor), dengan harga yang sangat murah dan dengan kualitas yang baik. Islam telah menetapkan konsep dan visi yang baku dan sahih dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. 


Negara seharusnya menetapkan kebijakan untuk rakyat dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar dan tepat terhadap segala urusan rakyat. Namun, kenaikan minyak goreng dan komoditas lainnya merupakan hal biasa dari penerapan sistem kapitalis. Karena, sistem ini menjadikan segala sesuatunya berorientasi pada keuntungan materi semata.


Kebebasan dalam kepemilikan merupakan salah satu prinsip dari sistem ekonomi kapitalis. Prinsip ini telah menggiring sebuah realitas terciptanya mekanisme pasar bebas. 


Dalam mekanisme ini akan selalu kita temui masalah distorsi pasar, adanya monopoli yang dilakukan oleh oligarki atau kartel.


Dalam Islam, hal ini diawali dengan memperhatikan pemilik lahan luas yang ditanami sawit. Apakah dimiliki oleh warga negara atau justru orang asing. Kemudian dilihat status kepemilikannya, kepemilikan individu ataukah kepemilikan umum.


Negara tidak akan membiarkan pihak asing mengangkangi kepemilikan dalam negeri. Negara juga tidak akan memberikan lahan yang menjadi kepemilikan negara kepada individu meskipun individu tersebut warga negara.


Kemudian, dari segi pencegahan terjadinya tas’ir, negara akan melihat penyebabnya. Jika lonjakan harga terjadi karena Ihtikar (penimbunan), maka negara akan menjatuhkan sanksi tegas bagi pelaku Ihtikar, karena Ihtikar hukumnya haram. Kemudian jika lonjakan harga terjadi karena kelangkaan barang, maka negara akan menambah ketersediaan barang (supply) sehingga ketersediaan barang tercukupi di pasar dan mencegah lonjakan harga. 


Negara juga akan memperbaiki akses informasi, tranportasi, dan mengawasi apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat serta ketersediannya di pasar. Semua dilakukan dengan mengedepankan kebutuhan kaum Muslim berdasarkan tuntutan hukum syara.


Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Maka kebijakan yang dibuat pun untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan menggunakan politik ekonomi Islam. Negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalis.


Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah, sehingga kondisi harga pun terkendali  dan stok pun mencukupi.

Wallahu a'lam bishawab