Hilang Nyawa demi Konten, Potret Buram Pemuda dalam Dekapan Sekularisme

Daftar Isi

 


Dalam paradigma Islam, negara wajib menjadi perisai untuk menjaga generasi dengan pola pendidikan yang layak. 


Pendidikan didesain untuk membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami, yakni berpikir dan bersikap dengan tolok ukur syariah.


Oleh Fajrina Laeli, S.M.

Pegiat Literasi


Siddiq-news.com -- Pemuda adalah tombak peradaban. Pundaknya sebagai tumpuan cita-cita untuk membangun negara menjadi lebih baik. Namun fakta berbicara, pemuda hari ini kerap disibukan dengan pemenuhan eksistensi dan validasi diri yang dijadikan sebagai poros hidup dan prioritas bagi mereka.


Ditambah lagi dengan kemajuan media yang mendukung dan mempermudah para pemuda untuk menunjukan jati dirinya. Jadilah unjuk eksistensi dan haus validasi dituangkan dengan berbagai konten dalam platform digital. Berlomba-lomba menjadi viral bahkan sampai membahayakan jiwa pun dilakukan.


Tidak heran, makin hari makin marak konten yang tidak bermanfaat dibuat yang berujung sia-sia, hingga merenggut nyawa dengan cara yang dianggap konyol hasil ulahnya sendiri. Sebutlah seperti kasus baru-baru ini terjadi, yaitu seorang wanita berinisial W (21) tewas tergantung di rumah kontrakannya di Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia tewas saat membuat konten melalui panggilan video dengan teman-temannya. (detik[dot]com, 03/03/23).


Kejadian tersebut berawal dari keisengan korban yang ingin membuat konten bunuh diri. Niat awalnya hanya demi konten semata, tetapi nahas W malah terpeselet di bangku yang ia gunakan sebagai pijakan hingga ia tergantung. Teman-teman W yang sedang melakukan panggilan video sontak segera mendatangi kediaman korban. Namun, setiba di lokasi, korban yang seorang diri ini sudah ditemukan tidak bernyawa.


Sebelum kejadian ini, konten berujung maut juga sering terdengar beritanya, seperti konten remaja yang menghentikan sebuah truk yang sedang melaju hingga berujung tertabrak dan meninggal di tempat kejadian.


Di sisi lain, tidak sedikit pemuda yang berlomba-lomba dalam hal flexing gaya hidup serba mewah di media sosial. Flexing sendiri adalah kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapatkan pengakuan oleh orang lain. Gaya hidup serta tuntutan pergaulan menjadikan pemuda terpaku atas kebiasaan tersebut. Lagi-lagi demi eksistensi diri dan validasi yang menjadi landasannya.


Perilaku ini sejatinya adalah perilaku yang rendah, yang muncul dari taraf berpikir yang rendah pula. Budaya ini menunjukan adanya kesalahan dalam kehidupan, cerminan pemuda yang jauh dari prestasi apalagi akhlak. Padahal sejatinya pemuda adalah agen perubahan. Generasi cemerlang yang mengubah masa depan dan memimpin dunia.


Inilah bukti nyata bahwa pendidikan di sistem sekuler telah gagal membentuk pola sikap dan kebiasaan yang baik bagi remaja. Begitu juga dengan kegagalan sistem ini membentuk lingkungan yang layak bagi kehidupan remaja. Alhasil remaja bertumbuh dan berkembang dibarengi dengan gaya hidup sia-sia ala Barat.


Pendidikan agama dijauhkan dari remaja, orientasi dalam pendidikan hanyak digunakan untuk meraih cita-cita duniawi semata seperti jabatan dan kekuasaan. Tidak heran jika pemuda makin terkikis keimanannya. Alhasil, sulit sekali ditemui pemuda yang berperilaku mengandalkan pemikiran, apalagi berlandaskan keimanan.


Pemuda saat ini cenderung diselimuti oleh kegiatan sia-sia, maka tidak heran jika kisah buram soal konten yang berujung maut akan kembali terulang, karena dari negara pun tidak tanggap dalam bertindak atas kasus seperti ini.


Dalam paradigma Islam, negara wajib menjadi perisai untuk menjaga generasi dengan pola pendidikan yang layak. Pendidikan terjamin dibarengi fasilitas dan pengajar yang mumpuni di bidangnya sehingga dapat menghasilkan pemuda cemerlang pemimpin masa depan.


Yang utama, pendidikan didesain untuk membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami, yakni berpikir dan bersikap dengan tolok ukur syariah. Sehingga memiliki kesadaran yang tinggi, yakni menyadari bahwa dirinya hanya hamba Allah Swt. yang semestinya tunduk dan patuh terhadap syariah-Nya, sedangkan puncak kebahagiannya adalah rida-Nya.


Kesadaran inilah yang niscaya akan membentuk pemikiran dan perbuatan generasi muda bahwa kehidupan yang dimiliki hanya digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt., tanpa nanti tanpa tapi. Mereka akan terbebas dari perilaku sia-sia seperti kondisi pemuda saat ini. Alhasil, dapat dipastikan hanya Islamlah yang mampu secara optimal mengarahkan jalan pemuda mencapai puncak kemuliaan. 

Wallahualam bissawab.