Aset Koruptor Disita Tetap Buat Rakyat Menderita

Daftar Isi

 


Negara dirugikan dengan nilai yang fantastis, namun hukuman yang dibebankan pada pelaku justru terbilang ringan dan tak bikin kapok


Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan kasus sistemik, maka harus diselesaikan dengan solusi yang sifatnya sistemik pula


Penulis Hany Handayani, S.P 

Aktivis Muslimah


Siddiq-news.com--Fenomena korupsi di Indonesia tampaknya tak kunjung membaik. Menjalarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat, anggota dewan, ASN baik personal maupun berjamaah kini sudah menjadi budaya dan sulit diberantas hingga akar. Banyak kasus yang akhirnya terungkap namun tak sedikit juga yang akhirnya menguap begitu saja tanpa proses pengadilan dan sanksi bagi pelaku korupsi.

Berdasarkan data dari Transparency International yang meluncurkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) tahun pengukuran 2022. Menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan skor 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34, dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. 

Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, skor dan peringkat ini menunjukkan tidak ada perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi. Dikutip dari voaindonesia (31/01/2023)

Lembaga pemberantasan korupsi KPK saja ternyata tak cukup untuk bisa mengatasi kasus korupsi yang sudah menggurita. Sebab justru di lembaga ini muncul cikal bakal koruptor baru, melalui suap menyuap kasus korupsi. Padahal rakyat menaruh harapan besar pada lembaga tersebut, agar penyakit tikus berdasi ini segera diberantas. Dari pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa, hukuman penjara dan denda tak mampu membuat jera para koruptor.

Harus ada gebrakan baru agar para koruptor yang sejatinya maling duit rakyat ini bisa jera, tak mengulangi kesalahannya sebagaimana koruptor terdahulu. Katanya para koruptor itu memang tidak akan kapok jika hanya diberi hukuman penjara serta denda. Hal yang justru paling ditakutkan oleh koruptor adalah menjadi miskin atau dimiskinkan. Maka tercetuslah sebuah usul untuk menyita bahkan merampas habis aset mereka agar timbul rasa jera.

Belum tuntas tugas yang dilakukan oleh KPK, saat ini ramai menjadi perbincangan mengenai pembahasan RUU Perampasan Aset tindak pidana. Sebenarnya usulan ini telah ditandatangani saat konvensi pada tahun 2003 dan Indonesia telah melakukan ratifikasi dengan membuat undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2006, namun hingga kini usulan tersebut belum ada kejelasannya.

Sampai pada akhirnya RUU Perampasan Aset menjadi isu panas kembali ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun. Dilansir dari kompas (01/04/2023)

Polemik terjadi lantaran ada isu bahwa DPR menolak usulan RUU Perampasan Aset tanpa memaparkan alasannya. Hal itu kemudian dibantah pihak DPR dengan menyatakan bahwa pengesahan RUU tersebut sulit dilakukan. Sebab menurutnya, para anggota di Komisi III DPR akan siap jika sudah mendapat perintah dari ketua umum (ketum) partai politik (parpol) masing-masing.

Belum disahkan menjadi undang-undang saja usulan ini sudah menjadi polemik di antara para wakil rakyat. Jika demikian tampaknya kecil harapan ketika pemerintah hanya mengandalkan undang-undang perampasan aset untuk membuat jera para koruptor. Meninjau kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ini bukan kelas teri, bukan dana yang sedikit yang berputar. Negara dirugikan dengan nilai yang fantastis, namun hukuman yang dibebankan pada pelaku justru terbilang ringan dan tak bikin kapok.

Pada dasarnya kasus korupsi terjadi bukan faktor lemah iman semata. Melainkan adanya kesempatan. Kesempatan yang besar untuk melakukan tindak korupsi di sistem kapitalis membuat para pejabat gelap mata. Mereka lupa akan sumpahnya sebagai wakil rakyat, pelayan umat.

Ditambah lagi faktor korupsi yang berjamaah. Alias kejahatan korupsi yang sudah terstruktur dengan baik, membuat para koruptor makin sulit untuk ditangkap. Banyak pihak yang terlibat dalam kasus korupsi pun menjadi penyebab makin rumitnya penanganan korupsi. Walhasil yang tertangkap mungkin hanya kasus personal yang nilainya kecil.

Dalam Islam korupsi dinilai sebagai tindak kejahatan yang sifatnya bisa merugikan banyak orang. Jelas ada sanksi hukum yang dapat membuat jera pelakunya. Hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk katagori pilar ke tiga dalam Islam. Sebab sebelum ke arah sana, Islam pun membentengi setiap muslim dengan sebuah keyakinan bahwa Allah Maha Melihat. Sifat Ihsan selalu merasa diawasi Allah dalam setiap aktivitasnya merupakan kunci dari pilar pertama. Keimanan yang kuat terhadap Allah inilah yang mampu mengontrol individu agar terhindar dari dosa.

Di samping itu Islam pun menambahkan kontrol masyarakat sebagai pilar ketiga. Jika keadaan individu sedang khilaf, ada masyarakat yang selalu menjaga kondisi ketakwaan agar tetap berada di rel hukum syarak. Sebab manusia ada kalanya berbuat salah dan bukan berarti tidak bisa berubah menjadi baik. Maka sinergi antara ketiga pilar dalam Islam yang disebutkan tadi merupakan hal yang penting. Jika salah satunya hilang, tak akan mampu menjamin keteraturan dalam kehidupan.

Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan kasus sistemik, maka harus diselesaikan dengan solusi yang sifatnya sistemik pula. Dengan demikian usulan tentang RUU Perampasan aset bagi para koruptor nampaknya hanya angin segar yang sekilas meramaikan saja. Pada akhirnya sekalipun aset koruptor disita tetap buat rakyat menderita. Dari sisi hukum tak ada yang membuat jera, begitu pula mindset individu yang terlalu rakus harta, membutakan segalanya menjadi pelengkap rumitnya kasus korupsi.

Solusi yang sistemik tadi tak lain dan tak bukan hanya berasal dari Islam. Namun, Islam tak bisa diterapkan secara marginal maupun bertahap, di sektor politik dulu misalnya. Penerapan Islam yang sempurna hanya bisa dilakukan secara serentak di setiap lini. Akhirnya penting bagi kaum muslim untuk mau tidak mau,  harus mampu memahami Islam. Kemampuan ini tak lain hanya bisa didapat dari mengkaji Islam lebih dalam. 

Semoga dari fenomena korupsi yang tak kunjung terselesaikan ini mampu membuat para pemangku jabatan di atas sana sadar bahwa, hanya dengan kembali pada aturan Allah sajalah semua masalah mampu diselesaikan dengan baik. 

“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisaa: 65)

Wallahualam bissawab.