Impor Gula Makin Menggila

Daftar Isi

Kebijakan impor gula secara besar-besaran ini sebenarnya menunjukan ketidakmampuan negara mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri.


Dalam Islam negara berperan mendistribusikan bahan pangan secara merata juga memastikan harga bahan pangan di pasar stabil dan terjangkau, dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara rutin.


Oleh Aqila Farisha 

(Praktisi Kesehatan)


Siddiq-news.com-Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Karena hampir setiap masakan menggunakan gula sebagai bumbu tambahan. Begitu juga dengan seduhan teh dan kopi. Namun akhir-akhir ini masyarakat cukup resah dengan adanya impor gula besar-besaran.


Dilansir dari kumparan (25/3/2023), Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di dunia. Pada tahun 2020, Indonesia melakukan impor gula hingga 4,3 juta ton.Tidak hanya itu, pada tahun ini pemerintah juga akan melakukan impor gula dalam jumlah yang besar.  Badan Pangan Nasional (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan, yakni ID Food dan PTPN Holding, untuk mengimpor gula konsumsi. Total impor gula pada tahun ini yaitu 215.000 ton. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadan, akan masuk gula kristal putih (GKP) sebanyak 99.000 ton dari Thailand, India dan Australia.


Mengutip detikfinace (25/3/2023), Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa berdasarkan Prognosa Neraca Pangan Nasional Januari-Desember 2023, produksi gula pasir dalam negeri pada tahun ini di prediksi sekitar 2,6 juta ton. Padahal angka kebutuhan gula secara nasional di tahun ini sekitar 3,4 juta ton. Artinya stok gula nasional kurang. Kekurangan tersebut harus ditutup oleh pasokan luar negeri, sebab hal ini dianggap sebagai langkah cepat agar tidak terjadi kelangkaan di masyarakat, terutama menjelang hari raya Idul Fitri 1444 H. 


Pada faktanya sulit mengandalkan pasokan gula hanya dari dalam negeri. Mengingat saat puasa dan hari raya kerap terjadi lonjakan permintaan dan konsumsi gula. Sementara musim giling tebu baru dimulai sekitar bulan Mei. Sehingga diputuskan untuk melakukan impor. Arief menyatakan penugasan pengadaan ini, sudah sesuai dengan arahan Presiden RI untuk menjaga stabilitas pasokan, harga pagan 2023, dan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).


Kebijakan impor gula secara besar-besaran ini sebenarnya menunjukan ketidakmampuan negara mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri. Padahal, Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk ditanami tebu.


Melansir dari VOA Indonesia (2021), Data PTPN III menyebutkan bahwa pada tahun 1930-an Indonesia mampu menghasilkan 2,9 juta ton gula, sedangkan sekarang hanya menghasilkan 2,6 juta ton. Seharusnya dengan perkembangan teknologi yang makin canggih dan kebutuhan yang makin banyak. Produksi gula makin meningkat. Lantas mengapa makin menurun?


Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produksi gula. Pertama faktor alat dan sarana produksi yang belum mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Alih-alih memberi dukungan pemerintah justru sedikit demi sedikit mengurangi bahkan mencabut subsidi, mulai dari subsidi pupuk hingga saprodi. Hal ini bisa menyebabkan biaya produksi naik. Sedangkan petani harus terus bersaing dengan produk impor yang terus masuk. Pada akhirnya petani merugi dan mogok produksi.


Faktor kedua adalah menurunnya produksi gula. Diakibatkan lahan yang semakin sempit, karena alih fungsi lahan. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menyebutkan luas lahan tebu terus berkurang selama kurun tiga tahun, hingga 70 ribu hektar. 


Ketidakmampuan pemerintah dalam memproduksi gula sejatinya berpangkal pada sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan kebutuhan rakyat dipenuhi oleh swasta, bukan negara. Seperti pabrik gula, sebagian besar milik orang asing. Jika seperti ini distribusi tidak akan merata. 


Selain itu pada sistem ini menjadikan hubungan antarnegara sebagai alat untuk kepentingan negara besar. Sehingga negara berkembang seperti Indonesia harus tunduk terhadap perusahaan asing. Sistem ini juga membebaskan penguasaan lahan oleh individu. Dampaknya yang punya modal akan berkuasa, dan petani kecil akan menjadi buruh tani. Negara juga tidak dapat mengontrol kebutuhan pangannya, sebab lahan dikuasai oleh negara. 


Ketahanan pangan yang berdaulat hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan peraturan islam. Allah Swt. melarang umat Islam menggantungkan urusannya dengan negara nonmuslim. Kaum Muslim harus memiliki kemandirian untuk mengatur urusan kehidupannya berdasarkan syariat. 


Tidak ada larangan impor dalam Islam. Akan tetapi Islam tidak membolehkan adanya ketergantungan. Di dalam negara yang menerapkan sistem Islam, negara akan berupaya  menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Diantaranya kebutuhan pangan, sandang, papan, serta kebutuhan pendidikan dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali. Sistem Islam juga akan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. 


Di dalam sistem Islam, tanggung jawab untuk mengelola dan mengatur sektor pertanian dan pangan ada di tangan negara. Tidak boleh terjadi penguasaan sektor pertanian pangan oleh korporasi. Negara akan melakukan pengurusan terhadap petani dengan menyediakan berbagai kebutuhan sarana produksi pertanian yang mudah, berkualitas dan terjangkau. Negara juga akan memudahkan akses permodalan tanpa syarat yang rumit dan tanpa riba. Membangun infrastruktur pertanian, termasuk meningkatkan kemampuan petani dengan teknologi terbaru. 


Negara juga berperan penuh dalam aspek distribusi, untuk memastikan bahan pangan terdistribusi merata hingga ke pelosok negeri. Negara Islam juga memastikan harga bahan pangan di pasar stabil dan terjangkau, dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara rutin. Agar tidak terjadi penimbunan barang, kartel, dan lain sebagainya.


Untuk mewujudkan kedaulatan pangan harus ada kebijakan yang menjamin ketersediaan lahan pertanian. Pengaturan Islam akan memaksimalkan pengaturan lahan untuk industri dan lahar pertanian. Artinya negara dalam Islam akan menghindari ahli fungsi lahan yang masif. Negara Islam juga akan mendistribusikan lahan kepada pihak yang mampu mengelola, sehingga tidak ada lahan yang mennggur. Islam memandang kepemilikan lahan sejalan dengan pengelolaannya. Ketika seseorang memiliki lahan tetapi tidak dikelola, hak kepemilikannya bisa dicabut. Sesuai dengan ijmak sahabat Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi terhadap tanah tersebut, setelah menelantarkannya selama tiga tahun. 


Selain itu, terwujudnya kedaulatan pangan, mengharuskan negara menegakkan kebijakan industrinya di atas basis industri berat. Negara harus memiliki kemandirian industri yang fokus pada pembangunan industri  alat-alat produksi. Bukan hanya sekedar industri konsumsi. Sehingga semua alat dan teknologi untuk pengembangan pertanian dan pengembangan pangan, diproduksi sendiri tanpa bergantung pada asing. Oleh karena itu kedaulatan dan ketahan pangan hanya akan terwujud di dalam sistem Islam.


Wallahu a'lam bishawab