Penumpasan Korupsi Tidak Cukup dengan Penerapan UU Perampasan Aset

Daftar Isi


Penerapan Sistem ekonomi kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan menjadi faktor utama penyebabnya. Kapitalisme yang mengandalkan asas manfaat dan menafikan agama dalam mengatur kehidupan menjadikan manusia tidak peduli lagi dengan halal dan haram


Ditambah lagi dalam pandangan kapitalis, uang adalah segala-galanya, termasuk ketika ingin menjadi bagian dari pemerintahan. Untuk duduk di kursi pemerintahan para politisi membutuhkan modal yang besar


Penulis Risa Fitriyanti S., S.Pd.

Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah


Siddiq-news.com-Menkopolhukam Mahfud MD kembali mengemukakan terkait Undang-Undang (UU) Perampasan Aset. Beliau meminta DPR RI untuk mendukung kehadiran UU tersebut. Namun, permintaan tersebut  ditolak oleh Ketua Komisi III, Bambang Pacul, sebab bukan perintah ketua umum partai. (Republika, 01/04/2023)


Rancangan UU Perampasan Aset ini mencuat usai kasus harta tak wajar pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo senilai Rp58 miliar. Apa itu UU Perampasan Aset? Menurut Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof. Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu adalah aset-aset yang diperoleh secara paksa dan ini merupakan hasil kejahatan.


Dan untuk pidana dilakukan oleh para penegak hukum seperti seperti Polri, Kejaksaan dan KPK yang bisa merampas aset tersangka atau terdakwa. Semua tetap harus melalui putusan pengadilan, setelah dipindahtangankan seperti perdata.


Dengan UU Perampasan Aset, memang kepentingan hak-hak masyarakat dijaga di satu sisi. Namun di sisi yang lain kita justru turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat. Sebab, ia merasa, jika aset itu hasil tindak pidana, maka tidak masalah.


Nyatanya selama ini di Indonesia berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi korupsi. Mulai dibentuknya KPK dan UU Pidana Korupsi. Tapi ujung-ujungnya kasus korupsi tetap tidak pernah selesai. Para pelaku pun kebanyakan dari kalangan para petinggi negara, dimulai dari menteri sampai pada para penegak hukum. Banyak harta yang tidak wajar didapatkan ketika mereka menjabat di kursi pemerintahan. Lantas apa penyebabnya korupsi tidak pernah tuntas di Indonesia?  


Penerapan Sistem ekonomi kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan menjadi faktor utama penyebabnya. Kapitalisme yang mengandalkan asas manfaat dan menafikan agama dalam mengatur kehidupan menjadikan manusia tidak peduli lagi dengan halal dan haram. Ditambah lagi dalam pandangan kapitalis, uang adalah segala-galanya, termasuk ketika ingin menjadi bagian dari pemerintahan. Untuk duduk di kursi pemerintahan para politisi membutuhkan modal yang besar.


Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) Alexander Marwata untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maupun gubernur butuh dana hingga miliaran rupiah. Sejak adanya KPK ada 300 anggota parlemen terdiri dari gubernur, bupati/wali kota dan puluhan menteri dari berbagai partai yang tertangkap KPK. (Kompas, 01/07/2023). Artinya tidak ada yang gratis. Sehingga suatu hal yang sangat wajar apabila korupsi tidak pernah usai di negeri ini.


Sungguh sangat disayangkan angka tersebut bukanlah prestasi yang patut dibanggakan di negeri ini. Mereka yang seharusnya melayani rakyat tapi justru mengeruk hak-hak rakyat. 


Makanya sangat wajar kasus korupsi dan perampasan aset negara oleh para pejabat dan petinggi akan selalu terjadi selama sistem kapitalis  masih diterapkan di negeri ini. Sebab mereka ingin meraup untung dan modal yang telah mereka keluarkan selama masa kampanye dan pemilu.


Lantas apa solusinya? 


Islam bukan hanya sekadar agama ruhiyah. Islam adalah agama dan juga ideologi yang di dalamnya terpancar aturan mengenai kehidupan. Dalam Islam semua perbuatan manusia harus terikat dengan hukum syarak. Pemimpin dalam Islam bukan hanya mereka yang menguasai ilmu politik, kaya dan bermartabat saja. Tapi yang lebih utama dari pada itu adalah mereka yang dipilih orang-orang yang beriman kepada Allah, senantiasa mendekatkan diri kepada Allah serta memahami hukum syarak. 


Rasulullah adalah tauladan kita semua dalam segala aspek kehidupan. Di dalam memilih pemimpin, Beliau benar-benar sangat selektif. Pernah suatu ketika  Rasulullah saw. mengutus Mu'adz bin Jabal ketika beliau mau dikirim ke yaman. Nabi saw. bertanya kepada Mu'adz, “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum?” Mu'adz pun menjawab, “Berdasarkan kitabullah.”


Rasulullah pun bertanya lagi, "Kalau tidak temukan dalam kitabullah?" Mu'adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya lagi, "Kalau tidak engkau temukan dalam sunnah Rasul?" Mu'adz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya.” Mendengar hal ini Rasulullah bersabda "Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah saw..” 


Lantas Rasulullah pun kembali berpesan agar Mu'adz tidak melakukan korupsi dalam segala hal apapun selama menjabat di Yaman.

  

Dalam Islam jabatan adalah amanah, dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti.


Pencegahan terjadinya kasus korupsi juga tampak jelas pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Setiap kali Umar mengangkat para wali di suatu wilayah, ia mewajibkan agar yang bersangkutan dihitung kekayaannya sebelum serah terima jabatan. Kemudian menghitung kembali harta kekayaan para wali tersebut setelah mereka selesai menjabat. Apabila ditemukan penambahan harta kekayaan mereka melebihi dari jumlah gaji mereka selama ini maka harta tersebut dikembalikan ke negara dan dimasukkan ke dalam Baitulmaal. 


Inilah mekanisme Islam dalam penanganan korupsi agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dan kezaliman terhadap hak rakyat. Semua terwujud apabila sistem Islam diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Selama sistem Kapitalisme masih diterapkan maka mustahil kezaliman ini akan selesai. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.