RUU Perampasan Aset Negara Efektifkah Memberantas Korupsi?

Daftar Isi

 


Gaya hidup hedonis dan konsumtif juga menjadi pemicu kasus korupsi di negeri ini

Syariah Islam akan mengondisikan umat manusia agar menjauhi kemaksiatan termasuk dalam hal ini korupsi


Oleh Nasywa Adzkiya 

(Aktivis Muslimah Kalsel)


Siddiq-news.com -- Akhir-akhir ini tindakan flexing atau pamer kekayaan dari kalangan pejabat menjadi sorotan dari banyak pihak. Bermula dari kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Rafael Alun Trisambodo.  Publik menilai bahwa gaya hidup mewah dan kekayaan yang dimiliki tersebut tidaklah wajar. Mengingat bahwa yang bersangkutan merupakan eks pejabat tinggi. Masyarakat menilai bahwa kepemilikan harta yang tidak sepadan dengan pengahasilan mengindikasikan adanya Tindakan korupsi ataupun money laundry. 


Melansir dari cnbcindonesia, (1/4/2023) Banyaknya kasus serupa menjadi perhatian masyarakat dan juga Pemerintah. Oleh sebab itu Menkopolhukam Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada anggota DPR komisi III terkait dengan disahkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Desakan itu muncul menyusul polemik dugaan transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan 


Mengutip detik.news (06/04/2023), Intelejen di bidang keuangan sebenarnya sudah mengetahui data dugaan pencucian uang. Pada Rabu, 29 Maret 2023, Menko Polhukam Mahfud Md menyebutkan adanya aliran dana tak wajar yang melibatkan berbagai lembaga. 


Mahfud MD menunjukkan surat berisi data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nominal Rp 1.492 triliun, hampir Rp 1.500 triliun. merupakan TPPU (tindak pidana pencucian uang). 


RUU ini mengacu pada hasil konvensi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Pada 18 April 2006, Indonesia meratifikasinya. Lalu pada 2008, PPATK menginisiasi perancangan draf dengan mengadopsi hasil konvensi UNCAC. Dengan adanya aturan ini diyakini dapat menjadi senjata untuk mengembalikan kerugian negara akibat kejahatan-kejahatan seperti korupsi, narkotika, terorisme atau bahkan kejahatan dengan motif ekonomi lainnya. 


RUU ini dianggap menjadi solusi karena salah satu ide penting dalam RUU tersebut adalah konsep non-conviction based asset forfeiture yang  merujuk pada bentuk perampasan aset yang tidak memerlukan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemilik aset tersebut bersalah.  Prinsip hukum pembuktian terbalik menjadi bisa dipraktikkan. Dengan begitu aset tersebut dapat diambil oleh negara tanpa adanya proses hukum. Beban pembuktian ada di pihak yang dituduh memiliki aset dari kejahatan atau tindak pidana. 


Budaya korupsi di Indonesia


Kasus korupsi di Indonesia bukanlah menjadi hal yang langka. Ada banyak kasus korupsi yang pernah terjadi di negeri ini bahkan beberapa diantaranya merupakan kasus besar dengan jumlah dana yang dikorupsi fantasis.  Seperti diberitakan oleh nasional.kompas (21/09/2022) bahwa KPK telah melakukan 66 penyelidikan, 60 penyidikan, 71 penuntutan, 59 perkara inkracht dan mengeksekusi putusan 51 perkara. Ini menunjukan betapa suburnya kasus korupsi di negeri ini. 


Jika kita telaah maraknya kasus korupsi di Indonesia tentu memiliki pemicunya. Di antaranya adalah mahalnya biaya pentas demokrasi di negeri ini. Sehingga orientasi pejabat ketika menjadi penguasa adalah agar dapat mengembalikan modal yang telah terkuras pada pemilu. Selain itu, gaya hidup hedonis dan konsumtif juga menjadi pemicu kasus korupsi di negeri ini. Berapa banyak pejabat hari ini yang hidup sederhana? Hampir dipastikan tidak ada. Mereka acap kali memamerkan kekayaan mereka di sosial media baik istri hingga anak-anak mereka pun melakukan hal yang serupa. 


Selain itu, keimanan yang kurang juga menjadi faktor maraknya kasus korupsi di negeri. Kurangnya sifat amanah dan sifat jujur dalam menjalankan pemerintahan, tidak takut pada dosa menjadikan mereka tak memiliki rasa bersalah ketika memakai uang rakyat.  Sebab dalam sistem kapitalis sekuler hari ini telah menjauhkan manusia dari keimanan kepada Allah. Padahal sifat-sifat tersebut terbentuk jika seseorang memiliki keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Jika negara tidak mampu mengkondisikan keimanan masyarakatnya, alhasil yang terjadi adalah berbagai kerusakan termasuk maraknya kasus korupsi. 


Berantas Tuntas Korupsi dengan Syariah Islam


Selama sistem yang digunakan bukanlah sistem yang berorientasi kepada akidah Islam, maka tindakan korupsi akan terus ada. Sekalipun RUU Perampasan Aset Negara ini disahkan, jika individu yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran maka bisa saja kasus korupsi ini Kembali terjadi.


Islam adalah agama yang memiliki seperangkat aturan yang paripurna untuk manusia. Di dalam Islam akidah umat Islam akan terjaga. Syariah Islam akan mengondisikan umat manusia agar menjauhi kemaksiatan termasuk dalam hal ini korupsi. Di dalam Islam korupsi termasuk perbuatan yang melanggar syariat, ia sama saja dengan mencuri. Oleh sebab negara di dalam Islam akan menjaga akidah umat sehingga umat takut akan berbuat dosa. 


Terbentuklah masyarakat yang memiliki ketaqwaan dan beriman kepada Allah Swt.  


Di dalam Islam negara akan membuat sistem pemerintahan yang tidak rentan akan korupsi. Tidak seperti sistem hari ini yang berbelit-belit sehingga membuka peluang terjadinya kasus korupsi. Di dalam Islam pengurusan urusan umat akan dimudahkan. Negara berorientasi pada kebutuhan rakyat.  Jikapun masih ada yang melakukan Tindakan korupsi maka negara akan memberikan sanksi tegas terhadap pelakunya. Konsep persanksian di dalam Islam yang tegas tentu akan membuat jera pelakunya. 


Sangat berbeda dengan sistem hari ini yang mana para pelaku korupsi bisa bersenang-senang di dalam tahanan.


Oleh karena itu pemberantasan korupsi tidak akan bisa tuntas dilakukan jika masih berharap pada sistem hari ini. Yang mampu untuk memusnahkan korupsi di negeri ini hanyalah jika kita Kembali kepada syariah Islam kafah.

Wallahualam bissawab.