Korupsi Menggurita, Rusaknya Demokrasi kian Nyata

Daftar Isi


Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis untuk menyelesaikan masalah korupsi


Untuk menuntaskan persoalan korupsi, tidak ada cara lain kecuali mengembalikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang diterapkan di tengah kehidupan


Oleh Ummu Ririn 

(Pegiat Literasi)


Siddiq-news.com - Kasus korupsi seakan tak pernah berhenti di negeri ini. Rakyat selalu saja dibuat terpana dengan kelihaian para koruptor dalam menjalankan aksi mereka. Bagaimana tidak, seringkali kita disuguhi berita seputar korupsi yang kian hari kian mencengangkan. Bahkan, kasusnya tidak saja terjadi di kalangan elite pejabat, tetapi juga terjadi hingga ke tingkat desa.


Dilansir dari katadata[dot]co (19/9/2022), berdasarkan data KPK, sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga 2022. Terdapat dua gubernur, 154 wali kota, dan 310 wakil rakyat. 


Sementara itu, mengutip bbcnews (25/1/2023), KPK mencatat, 601 kasus korupsi periode 2012-2021 melibatkan aparatur desa dan menjerat 686 kepala desa. Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat, jumlah korupsi di sektor anggaran dana desa terus meningkat sejak bergulirnya program dana desa tahun 2015.


Kita sepakat bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sebab, pelakunya mengambil yang bukan haknya, hingga menyebabkan kerugian bahkan kesengsaraan bagi orang lain. Pun, kita sepakat bahwa pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, fakta bahwa kasus korupsi kian menjamur bahkan menggurita, sungguh tak bisa dibantah.


Fakta ini menunjukkan bahwa apa yang telah ditempuh selama ini belum memberi efek signifikan terhadap penanganan kasus korupsi. Bisa jadi pula, ada yang salah terkait langkah yang diambil dalam menuntaskan masalah tersebut, mengingat kita hidup di alam demokrasi kapitalistik.


Dalam demokrasi kapitalistik, ada banyak faktor yang mendorong seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi. Pertama, tabiat buruk individu. Tidak dimungkiri, di antara pemimpin atau pejabat, ada yang memiliki tabiat buruk, seperti munafik, culas, dan serakah. Terlebih lagi, ketika berada dalam lingkaran kekuasaan  sistem yang notabene rusak dan merusak ini.


Kedua, pelaksanaan demokrasi cenderung kapitalistik. Mahalnya biaya politik dalam demokrasi tidak berbanding lurus dengan gaji pejabat hingga satu periode (lima tahun) sekalipun. Berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), calon bupati/walikota membutuhkan dana Rp20-30 miliar untuk mencalonkan diri. Sementara, untuk calon gubernur/wakilnya, membutuhkan Rp100 miliar.


Sementara, modal minimal yang dibutuhkan untuk menjadi calon anggota dewan yaitu, Rp1-2 miliar untuk calon anggota DPR RI, Rp500 juta sampai Rp 1 miliar untuk calon anggota DPRD Provinsi, dan Rp259-300 juta untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota. Modal yang tidak sebanding dengan gaji pejabat ini berpotensi melahirkan pejabat bermental korup. 


Ketiga, gaya hidup hedonis dan liberal. Standar hidup dan tolok ukur kebahagiaan yang materialistis melahirkan gaya hidup hedonis dan liberal. Hal inilah yang mendorong  pejabat menghalalkan segala cara seperti korupsi, demi memenuhi syahwat duniawi mereka. Telah banyak kita saksikan, bagaimana glamornya kehidupan para pejabat beserta keluarganya. Sangat timpang dengan kehidupan rakyat yang menggantungkan harapan kesejahteraan di pundak mereka. Sementara, para pejabat hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Menyedihkan.


Keempat, regulasi yang memanjakan. Sebelum terbitnya KUHP baru, tindak korupsi termasuk dalam kategori pidana khusus. Sehingga, penanganannya juga secara khusus melalui UU Tipikor. Namun, pemerintah memasukkan tindak pidana korupsi dalam KUHP 2022. Meleburnya kasus Tipikor ke dalam KUHP otomatis menghilangkan kekhususan pidana korupsi dan menjadi pidana umum. 


Selain itu, hukuman koruptor lebih ringan dari yang diatur dalam UU Tipikor. Yakni, hukuman minimal yang sebelumnya empat tahun, dalam pasal 603 KUHP baru menjadi dua tahun. Selain itu, hukuman denda yang sebelumnya Rp200 juta, menjadi Rp10 juta. Kalau seperti ini, bagaimana korupsi tidak semakin menggurita dan sulit diberantas? 


Semua hal tersebut tidak lain merupakan imbas dari penerapan sistem yang salah, yakni demokrasi kapitalisme.  Sebab, langgengnya korupsi berikut sebab musababnya adalah keniscayaan dalam demokrasi. Selama negeri ini masih percaya dan menganggap demokrasi mampu memberi solusi seluruh persoalan bangsa termasuk korupsi, maka selama itu pula, tindak korupsi tidak akan pernah terselesaikan.



Masalah korupsi terjadi karena sebab yang kompleks, yang mana semua sebab itu lahir dari satu sumber, yakni sistem atau aturan yang telah dan sedang diterapkan. Olehnya, untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ini, wajib bersifat sistemis. 


Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis untuk menyelesaikan masalah korupsi. Pertama, penerapan ideologi Islam. Hal ini merupakan syarat mutlak. Sebab, ideologi Islam meniscayakan penerapan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan.


Kedua, memilih penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Sistem Islam menerapkan syarat takwa seorang calon pemimpin selain syarat profesionalitas. Sebab, ketakwaan akan menjadi benteng sekaligus kontrol awal dan penangkal dari berbuat maksiat. Dengan takwa, seorang pejabat akan senantiasa murakabah, yakni merasa diawasi oleh Allah. Lebih dari itu, menjadi pemimpin hanyalah sarana untuk mewujudkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim, bukan memperkaya diri sendiri, apalagi dengan jalan korupsi.


Ketiga, melaksanakan politik sesuai syariat. Dalam Islam, politik dimaknai sebagai aktivitas mengurusi urusan rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai tuntunan syariat Islam. 


Keempat, menerapkan sanksi tegas yang memberi efek jera. Salah satu upaya mencegah korupsi, para pemegang kebijakan melakukan audit secara berkala, untuk memastikan tidak ada penambahan harta secara tidak wajar dari para pejabat, serra untuk mengetahui ada atau tidaknya pejabat yang korupsi. Selanjutnya, bila ditemukan ada pejabat yang melakukan korupsi, maka akan dijatuhkan sanksi tegas. Bisa dipastikan, sanksi  itu akan membuat jera para pejabat korup. 


Adapun sanksi tegas itu bisa berupa sanksi moral (publikasi dan stigmatisasi), peringatan, penyitaan harta, pengasingan, hingga hukuman mati. Sanksi tersebut dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan korupsi yang dilakukan. Oleh karena itu, untuk menuntaskan persoalan korupsi, tidak ada cara lain kecuali mengembalikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang diterapkan di tengah kehidupan.  Wallahu a'lam bishawab.