Perpanjangan Ijin untuk Freeport, SDA Terus Dinikmati Asing

Daftar Isi

 


Kebijakan memperpanjang ijin dari Freeport tersebut justru akan menguatkan cengkeraman investor asing yang jelas berdampak buruk bagi negara dan masyarakat Indonesia


Aturan dalam Islam tentu mampu memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Semua hasil dari pengelolaannya akan dikembalikan kepada rakyat, dan negara tidak akan membiarkan pihak manapun yang berusaha menjadikan pos-pos penting tersebut diprivatisasi, termasuk asing


Penulis Asma Sulistiawati 

Pegiat Literasi


Siddiq-news.com -- Telah lazim diketahui jika Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Indonesia yang memiliki wilayah luas dan subur serta terletak di daerah tropis menjadi salah satu alasan mengapa SDA di negeri ini banyak serta tergolong beragam.


Tak heran, banyak yang tertarik untuk melakukan penambangan guna memanfaatkan SDA tersebut, baik pribumi maupun para investor asing. Rezim pun berharap jika keberadaan tambang yang mengelola SDA bisa menjadi katalisator perbaikan ekonomi agar kesejahteraan rakyat bisa tercapai. 


Guna mewujudkan harapan itu rezim tak segan mengeluarkan berbagai kebijakan, salah satunya keputusan memperpanjang ijin bagi PT Freeport untuk terus mengekspor konsentrat tembaga sampai Mei 2024. Meski bertentangan dengan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, namun pemerintah berdalih jika keputusan perpanjangan itu dikeluarkan setelah menimbang beberapa aspek.


Menganalisa lebih lanjut, masuknya investor asing untuk mengelola potensi yang dimiliki oleh negeri bukan sekali ini saja terjadi, dan Freeport bukanlah satu-satunya perusahaan dari negara asing yang menanamkan modalnya. 


Mereka tentu saja memiliki tujuan sama sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yakni untuk mengelola berbagai potensi yang ada pada negeri ini, apakah dari segi tambang, kelautan, pariwisata dan lain-lain. Kehadiran investor asing dikatakan akan memberi berbagai keuntungan bagi negara. Seperti penambahan devisa negara, membuka lapangan pekerjaan, ataupun kemajuan dalam bidang tertentu.


Tetapi tatkala kita menelisik lebih dalam, kehadiran mereka juga dinilai memberikan kerugian besar bagi negara. Salah satunya dari aspek penguasaan SDA. Kerugian tersebut terjadi karena sangat sedikit dari hasil kekayaan bumi Indonesia yang dapat dinikmati oleh bangsa ini. Selebihnya kekayaan alam yang ada akan dieksplorasi, dikuasai dan dinikmati oleh pemilik modal asing yang membawa kekayaan alam Indonesia ke negara mereka untuk diolah dan dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi.


Seperti emas misalnya. Diketahui Indonesia adalah negara yang memiliki cadangan emas yang banyak. Yakni sebesar 106,2 juta ounce, atau lebih dua kali lipat dari cadangan emas di Siberia, yang bertengger di posisi kelima. Cadangan emas sebesar itu sebagian besar berada di Papua dibawah pengelolaan PT Freeport. Dalam artikelnya, liputan6[dot]com (19/8/2018) menuliskan jika dalam sehari mereka bisa menghasilkan sekitar 210 ribu ton ore.


Jumlah yang fantastis tentunya. Begitu juga cadangan migas, batubara, maupun SDA lain, yang ketika hasilnya dikonversi dalam rupiah akan menyentuh angka fantastis. Ironinya, pundi-pundi rupiah tersebut tetap tidak bisa mengentaskan besarnya angka kemiskinan yang ada di Indonesia. Sebagaimana data terbaru yang dikutip dari situs bps[dot]go[dot]id, (16/1/2023) bahwa pada bulan September 2022 misalnya, tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang. Pasalnya, rupiah itu tidak masuk keseluruhan dalam kas pemerintah, namun sebagian besar terkumpul dalam kantung-kantung pemodal dari Asing.


Sehingga, jika kita menelaah, keuntungan yang diberikan kepada negeri ini dengan adanya investasi asing tersebut tidaklah seberapa dibandingkan besarnya jumlah laba yang mereka raih. Kesejahteraan yang diharapkan juga tak kunjung menyapa. Terlihat dengan masih tingginya angka kemiskinan yang menyatroni Indonesia.


Walhasil, tindakan pemerintah untuk memperpanjang ijin dari Freeport tersebut justru akan menguatkan cengkeraman investor asing yang jelas berdampak buruk bagi negara dan masyarakat Indonesia.


Dari sisi lain, yang perlu kita pahami bahwa masuknya para investor asing tentu tak lepas dari restu yang diberikan oleh pemerintah. Walau mereka mengelola objek dengan penghasilan melimpah ruah, hal tersebut sah-sah saja dalam pandangan publik saat ini. Padahal jika kita lihat, Indonesia dengan seabrek potensinya ketika dikelola secara mandiri tentu lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyatnya. Namun, tatkala negara saat ini masih teguh berkiblat pada sistem Demokrasi, maka kemandirian tersebut hanyalah utopis semata.


Pasalnya, demokrasi dengan salah satu ciri khasnya, yakni kebebasan kepemilikan telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menganggap jika seseorang boleh memiliki dan mengembangkan harta melalui usaha apapun. Termasuk penguasaan berbagai macam SDA oleh segelintir individu walaupun dia adalah orang asing. Maka peran negara untuk mengelola secara mandiri perekonomian menjadi susah, karena kapitalisme membuka jalan bagi pihak lain untuk menguasai pos-pos penting dalam bentuk investasi.


Berbeda kisah ketika menjadikan Islam sebagai kiblat pemerintahan. Islam dengan 3 asas ekonomi khasnya, yakni kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan kepemilikan (at-tasharuf fi al-milkiyah), dan distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tawzi’ ats-tsarwah bayna an-nas), akan menjadikan negara yang menerapkannya mengontrol penuh aktivitas ekonomi tanpa intervensi dari pihak lain.


Terkait kepemilikan misalnya, Islam telah membaginya dalam 3 aspek. Yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Adanya pembagian ini akan menjadikan pos-pos penting seperti SDA yang besar tidak akan dikuasai oleh individu (baik asing ataupun pribumi) tapi akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan masuk dalam kas negara (baitulmal) serta didistribusikan kepada rakyat dalam bentuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang lain.


Aturan dalam Islam tersebut tentu bisa memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Karena semua hasil dari pengelolaannya akan dikembalikan kepada rakyat, dan negara tidak akan membiarkan pihak manapun yang berusaha menjadikan pos-pos penting tersebut diprivatisasi, termasuk asing.


Hanya saja, perihal tersebut tak akan pernah bisa kita dapatkan dalam situasi sekarang, selama sistem yang diterapkan masih kapitalisme. Sehingga, jika ada sistem yang lebih baik dari kapitalisme untuk mengurus hajat hidup orang banyak, untuk apa masih mempertahankannya? Wallahualam bissawab.