Sistem Kapitalisme, Penistaan Agama Terus Berulang

Daftar Isi


Penghinaan terhadap agama atau penistaan agama dalam Islam merupakan perbuatan yang sangat serius. Hal tersebut bertentangan dengan norma agama Islam, karena itu ancaman hukumannya sangat berat


Hanya Islam yang mampu menegakkan hukum secara tegas, keras, dan adil terhadap penista agama, tanpa adanya pandang bulu terhadap siapa pelaku


Penulis Siti Rahmah, S.Ak. 

Kontributor Media Siddiq-News 


Siddiq-News.com--Melansir dari data World Population Review pada tahun 2021, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim yang terbanyak di dunia. Memiliki penduduk yang memeluk agama Islam dengan total sekitar 231 juta penduduk. Namun, amat ironis di negara mayoritas Muslim peristiwa penistaan agama seolah-olah tidak pernah ada habisnya.

Namun, inilah konsekuensi yang terjadi jika sistem kapitalisme sekuler diterapkan di tengah masyarakat dan dijadikan asas negara. Kebebasan berpendapat dan berekspresi diakui sebagai hak konstitusional yang fundamental. Sehingga, masyarakat bebas melakukan perbuatan apa saja, menistakan agama atau menghina simbol keagamaan menjadi hal biasa. 

Selain memisahkan antara agama dan negara, pada sistem kapitalisme juga memiliki prinsip bahwa agama harus menjadi urusan pribadi individu dan tidak boleh ikut campur dalam kebijakan publik. Apalagi menjadi landasan bagi hukum dan keputusan politik. Alhasil, urusan duniawi manusia hanya diurus oleh manusia saja, dan tidak lagi mementingkan keberadaan sang Pencipta yakni Allah Swt. juga mengabaikan kehidupan sesudah dunia.

Adanya hal tersebut maka secara perlahan membuat masyarakat kehilangan tujuan hidup. Selain itu juga gagal paham dalam memaknai dunia dan diri mereka sendiri. Adanya perasaan kosong dan kebingungan itu pula yang akan menjebak mereka dalam gaya hidup yang berorientasi pada materi semata. Akhirnya, mereka bersedia melakukan apapun bahkan melecehkan agamanya sendiri hanya demi materi. Misalnya aksi yang dilakukan oleh selebgram, Lina Mukherjee. Demi konten guna meraup keuntungan pundi-pundi dan popularitas, wanita tersebut memakan daging babi yang sudah jelas diharamkan dalam Islam dengan mengucapkan "Bismillah" hingga video tersebut menyebar ke masyarakat dan menjadi viral. (cnnindonesia[dot]com, 23/04/2023)

Tidak hanya itu saja, ada pula warga negara asing asal Australia yang meludahi imam Masjid Jami Al-Muhajir, Bandung, Jumat (28/4/2023). Hal tersebut terjadi dikarenakan pelaku merasa terganggu dengan suara murotal yang diputar oleh imam masjid di depan tempatnya menginap. (Kompas[dot]com, 30/04/2023)

Meskipun kedua pelaku tersebut kini telah dijadikan tersangka dan dalam proses penanganan oleh pihak kepolisian tetapi, bukanlah menjadi sebuah jaminan bahwa penistaan terhadap agama tidak akan muncul kembali. Sebab, jika menilik pada Pasal 156 KHUP terkait penodaan agama di negeri ini juga terkesan hanya melindungi orang yang beragama dan bukan melindungi agamanya secara utuh.

Terlebih Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi seolah-olah menjadi tameng bagi mereka yang melakukan penistaan agama atau penghinaan terhadap agama kepercayaan orang lain.

Tidak kaget memang, inilah gambaran sistem kapitalisme sekuler, dimana aturan dibuat oleh manusia yang sejatinya tempat kelemahan. Berbeda jauh dengan Islam, agama yang diturunkan Allah Swt., sang Pencipta manusia, melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara Malaikat Jibril. Dalam paradigma Islam, seluruh aktivitas atau perbuatan manusia selalu terikat dengan agama dan tidak dapat dipisahkan. Dengan memahami bahwa segala perbuatan individu dan umat terikat dengan perintah dan larangan Allah Swt., jelas bahwa tidak seorang pun mempunyai hak legislasi (membuat hukum). Sesuai firman Allah Swt.:

“Menetapkan hukum itu hanya milik Allah.” (TQS. Al An’am: 57)

Penghinaan terhadap agama atau penistaan agama dalam Islam merupakan perbuatan yang sangat serius. Hal tersebut bertentangan dengan norma agama Islam, karena itu ancaman hukumannya sangat berat.

Para Ulama tidak memiliki perbedaan pendapat, tentang muslim yang melakukan penghinaan terhadap sang Pencipta, yakni Allah Swt., Al-Qur'an, dan Rasulullah saw., dalam keadaan dia tahu maka dia telah murtad dan layak mendapatkan hukuman mati. Demikian pula, bagi non-muslim yang melakukan  penghinaan terhadap Al-Qur'an atau Nabi Muhammad saw., maka hukumannya adalah hukuman mati, sama dengan hukuman untuk orang muslim yang menghina Al-Qur'an atau Nabi Muhammadsaw. Sebab tidak ada perbedaan antara kedudukan non-muslim dan muslim di hadapan hukum Islam dalam negara Islam (Khilafah).

Imam Nawawi berkata: "Para ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang menghina Al-Qur'an, atau menghina sesuatu dari Al-Qur'an, atau menghina mushaf, atau melemparkannya ke tempat kotoran, atau mendustakan suatu hukum atau berita yang dibawa Al-Qur'an, atau menafikan sesuatu yang telah ditetapkan Al-Qur'an, atau meragukan sesuatu dari yang demikian itu, sedang dia mengetahuinya, maka dia telah kafir." Padahal sudah diketahui bahwa hukuman bagi muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) adalah hukuman mati, jika dia sudah diminta untuk bertaubat (istitabah) tetapi dia tetap tidak mau bertaubat.

Namun, jika penista tersebut bertaubat, maka sanksi hukumannya dibebankan pada kearifan seorang hakim. Tentu dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ini harus tetap memperhatikan nash keagamaan secara teliti, baik, dan mendalam. Terlebih jika ini menyangkut kemaslahatan orang banyak, semisalnya jilid (dera) 80 kali. Dengan demikian, sangat jelas bahwa hukuman yang keras dan tegas akan sangat berpengaruh terhadap sikap para penista agama, sehingga mereka tidak akan berani lagi melakukan perbuatan yang sama.

Selain itu, Islam juga telah menetapkan sistem yang khas untuk mengelola pemerintahan. Sistem yang sempurna yang di dalamnya terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesama manusia, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Dengan asas Kedaulatan di tangan syarak yaitu al-Qur'an dan as Sunnah. 

Oleh sebab itu, jika berharap berakhirnya para penista agama kepada sistem selain Islam adalah hal mustahil. Sebab, hanya dengan Islam yang mampu menegakkan hukum secara tegas, keras, dan adil terhadap penista agama, tanpa adanya pandang bulu terhadap siapa pelaku. Bahkan, akan terselesaikan  dengan tuntas persoalan ini langsung dari akarnya. Wallahualam bissawab.