Fatamorgana Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Nol Persen

Daftar Isi

 


Peran penguasa jelas tidak hanya mendorong rakyat untuk bekerja, tetapi juga menjadi kewajiban penguasa untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi kaum lelaki


Menjadi kewajiban negara menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang berkualitas, merata, mudah, dan murah bahkan gratis di segala aspek kehidupan


Oleh Jannatu Naflah

Praktisi Pendidikan


Siddiq-News.com -- Ambisi Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem nol persen tampaknya belum juga surut. Usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP di Jakarta Selatan pada Selasa (6/6/2023), Presiden menyebutkan pemerintah akan bekerja keras dan mati-matian untuk dapat menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2024.

Ya, pengentasan kemiskinan ekstrem nol persen memang menjadi salah satu program ambisius Presiden Jokowi di periode keduanya. Program ini merujuk pada tujuan utama pembangunan berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menargetkan, antara lain, pengentasan kemiskinan ekstrem bagi semua orang yang berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari pada 2030. (tirto[dot]id, 9/6/2023)

Sayangnya, tidak sedikit pihak menanggapi pesimis ambisi Presiden ini. Peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf, berpendapat target kemiskinan ekstrem nol persen terlampau ambisius sehingga tidak mungkin tercapai.

Optimisme Presiden Jokowi juga berbenturan dengan realitas yang ada. Sebab, angka kemelaratan di Tanah Air masih cukup tinggi pada tahun ini. Target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam setahun pun dirasa sulit. Apalagi, sasaran program ini tidak gampang diidentifikasi dan dijangkau. (voaindonesia[dot]com, 10/6/2023)

Target kemiskinan ekstrem nol persen tampaknya mustahil terwujud dalam naungan sistem kapitalisme. Sebab, kemiskinan sejatinya merupakan cacat bawaan kapitalisme. Sistem ini alih-alih mengentaskan kemiskinan, sebaliknya menumbuhsuburkan kemiskinan dan segudang problematika rakyat. Hal ini tidak terlepas dari paradigma kapitalisme yang menempatkan peran negara sebagai regulator. 

Peran negara sebagai regulator, nyata menempatkan penguasa sebagai pelayan bagi kepentingan oligarki kapital, alih-alih bertanggung jawab sebagai pelayan dan pengatur urusan rakyat. Tidak heran jika berbagai kebijakan kerap mengakomodasi kepentingan para cukong sang pemilik modal. Sebutlah, kebijakan penyesuaian pajak dan tarif listrik, kebijakan pengurangan subsidi BBM, hingga undang-undang sapu jagat UU Cipta Kerja adalah segelintir regulasi yang makin mencekik ekonomi rakyat.

Di sisi lain, solusi pengentasan kemiskinan hanya sebuah solusi tambal sulam yang mustahil menuntaskan persoalan. Sebutlah, dana bansos dan kartu prakerja yang alih-alih menuntaskan kemiskinan, faktanya justru ramai-ramai dikorupsi. Alhasil, apalah artinya berbagai program bantuan sosial, sedangkan dananya terus dikorupsi di tengah kondisi rakyat yang dicekik oleh berbagai regulasi yang makin memiskinkan rakyat.

Makin mustahil mengentaskan kemiskinan dalam dekapan kapitalisme. Sistem ini justru biang kemiskinan. Solusinya pun hanya utopia belaka. Semu bak fatamorgana. Alih-alih rakyat sejahtera,  rakyat justru bertambah payah. Rakyat miskin tambah sekarat. Rakyat menengah terancam jatuh melarat.

Pengentasan kemiskinan niscaya dapat terwujud dalam naungan sistem Islam. Sistem ini jelas memiliki solusi mumpuni untuk mengentaskan kemiskinan hingga ke akarnya. Dalam paradigma Islam, rakyat disebut miskin jika tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, yakni sandang, papan, dan pangan. Inilah standar kemiskinan yang sahih, bukan sekadar otak-atik angka yang berlandaskan kepentingan.

Mekanisme sistem Islam dalam mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan pada tiga aspek. Pertama, di ranah individu, ajaran Islam memerintahkan dan mendorong setiap Muslim yang mampu bekerja untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarga yang berada dalam tanggung jawabnya. (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Kedua, di ranah publik, ajaran Islam memerintahkan kaum Muslim untuk saling peduli dan tolong-menolong terhadap saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan, sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw., "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu." (hr. ath-Thabrani dan al-Bazzar)

Ketiga, di ranah negara, Islam mewajibkan penguasa untuk melayani dan mengatur segala hajat hidup rakyat. Maka menjadi kewajiban dan tugas penguasa untuk mencukupi dan menjamin kebutuhan pokok rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (hr. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Peran penguasa jelas tidak hanya mendorong rakyat untuk bekerja, tetapi juga menjadi kewajiban penguasa untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi kaum lelaki. Di sisi lain, menjadi kewajiban negara menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang berkualitas, merata, mudah, dan murah bahkan gratis di segala aspek kehidupan. Hebatnya, semuanya diberikan untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, bangsa, etnik, ras, dan sukunya.

Inilah mekanisme sistem Islam mengentaskan kemiskinan hingga ke akarnya. Bukan perkara yang mustahil, melainkan sebuah keniscayaan. Kesejahteraan jelas bukan lagi utopia belaka. Mekanisme mumpuni ini pasti terwujud andai tuan-tuan penguasa mau membuang sistem bobrok kapitalisme dan menerapkan sistem Islam secara paripurna dalam institusi negara. Wallahualam bissawab.