Mimpi Kesejahteraan di Tanah Papua

Daftar Isi


Kesejahteran untuk rakyat Papua memang mustahil diraih dalam naungan kapitalisme, tetapi menjadi sebuah keniscayaan andai berada dalam dekapan sistem Islam


Wajib bagi penguasa untuk melayani dan menjamin kebutuhan rakyat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai harta kepemilikan umum yang menjadi hak rakyat


Oleh Jannatu Naflah

Praktisi Pendidikan

Siddiq-News.com -- Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Theofransus Litaay, menyebutkan bahwa hasil pembangunan secara objektif di Papua mengalami banyak peningkatan dari aspek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), penurunan angka kemiskinan, dan meningkatnya angka harapan hidup.

Peningkatan ini menjadi indikator bagi perubahan dan keberhasilan pada masyarakat paling Timur Indonesia ini dalam kurun waktu 10 tahun prioritas pembangunan Papua yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. (antaranews[dot]com, 11/6/2023)

Ironisnya, di tengah klaim keberhasilan pembanguan Papua ini, kabar tak sedap justru muncul dari Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Scholoo Keyen yang berada di wilayah tersebut dikabarkan 'nyaris lumpuh' dalam melakukan pelayanan kesehatan karena kelangkaan obat dan bahan medis habis pakai (BMHP)

Beberapa pasien RSUD Scholoo Keyen disebut meninggal dunia karena rumah sakit kehabisan oksigen, tidak memiliki bahan medis operasi seperti selang oksigen, spuit (alat suntik) sekali pakai, dan kehabisan obat-obat esensial lain yang dibutuhkan. Beberapa pasien lainnya dirujuk ke rumah sakit lain yang memakan waktu 5-6 jam perjalanan darat.

Selain kelangkaan obat dan BMHP, keterlambatan gaji para pekerja kontrak pun menjadi masalah yang belum tertuntaskan di RSUD Scholoo Keyen. Para pekerja kontrak ini bahkan terancam diusir dari rumah kontrakan karena menunggak bayar. (bbc[dot]com, 9/6/2023)

RSUD Scholoo Keyen yang 'nyaris lumpuh' menjadi bukti bahwa pembangunan Papua masih memiliki PR besar. Klaim penurunan kemiskinan dan meningkatnya angka harapan hidup nyatanya masih menyisakan banyak persoalan. Tanah Papua masih belum baik-baik saja.

Ya, inilah cerita Tanah Papua yang sumber alamnya kaya raya, tetapi pemerataan pembangunan faktanya seolah utopia belaka. Rakyat masih saja dibelit berbagai derita yang tak berkesudahan. Susahnya akses ekonomi, kesehatan, dan pendidikan adalah fakta yang tak terbantahkan.

Konflik bersenjata di Papua pun menambah panjang derita rakyat. Lebih dari setengah abad konflik bersenjata di Papua telah mengundang krisis kemanusiaan yang penuh nestapa. Konflik bersenjata mengakibatkan banyak penduduk mengungsi. Minimnya bantuan menimbulkan sederet persoalan busung lapar dan gizi buruk pada anak-anak Papua. Tidak sedikit balita yang meregang nyawa di pengungsian karena busung lapar dan gizi buruk.

Program pembangunan prioritas Papua yang digadang-gadang sukses pun nyatanya berjalan lamban, dihadang berbagai kebijakan tuan penguasa yang justru mengeksploitasi dan merampok alam Papua melalui tangan-tangan serakah kapitalis global. Sebutlah, UU Cipta Kerja, yang mengakomodasi kepentingan kapitalis atas kekayaan alam Papua di tengah konflik lahan sawit yang belum tuntas.

Gunungan emas dirampok. Hutan dibakar untuk membuka perkebunan sawit. Pundi-pundi cuan mengalir ke kantong para pemilik modal, sedangkan rakyat Papua mendulang kerugian. Alih-alih kesejahteraan yang dikecap, kehilangan lahan pangan dan ancaman kelaparaan akibat kerusakan hutan menambah panjang derita rakyat Papua.

Inilah wajah pilu Tanah Papua dalam dekapaan kapitalisme. Tanah yang kaya raya, nyatanya tak membuat penduduknya sejahtera. Kapitalisme yang bercokol di negeri ini justru sukses membuat Papua tertinggal jauh. Ya, bagaimana perubahan dan keberhasilan pembangunan dapat diraih, jikalau kekayaan alamnya masih dikuasai oleh para kapitalis?

Pembangunan Papua yang lamban dan tertinggal jauh tidak lepas dari paradigma kapitalisme menjadikan penguasa sebagai regulator bagi kepentingan para pemilik modal. Regulasi yang ada, alih-alih untuk mengelola sumber daya alam Papua semata-mata demi kemaslahatan rakyatnya, sebaliknya justru untuk menguras habis kekayaan alamnya sebesar-besarnya untuk kepentingan kapitalis asing.

Peran negara yang tidak ideal inilah yang menghambat pembangunan di Tanah Papua sehingga menimbulkan beragam problematika ekonomi, kesehatan, pendidikan, bahkan sosial. Kondisi ini diperparah dengan adanya konflik bersenjata oleh separatisme yang menginginkan Papua merdeka. Sebuah kondisi yang dirancang oleh kapitalis global yang menginginkan Papua terpisah dari pangkuan Ibu Pertiwi, yang didorong oleh motif ekonomi dan politik untuk melanggengkan dominasi dan hegemoni kapitalisme atas negeri ini. Alhasil, hal ini tidak dapat dibiarkan.

Kesejahteran untuk rakyat Papua memang mustahil diraih dalam naungan kapitalisme, tetapi menjadi sebuah keniscayaan andai berada dalam dekapan sistem Islam. Sebab, paradigma Islam memandang, penguasa adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadis, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim

Penguasa sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ini berarti haram bagi penguasa yang berperan hanya sebagai regulator yang melayani kepentingan kapitalis, apa pun dalih dan alasannya. Sebaliknya, wajib bagi penguasa untuk melayani dan menjamin kebutuhan rakyat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai harta kepemilikan umum yang menjadi hak rakyat.

Dalam pandangan Islam, kaum Muslimin berserikat atas padang rumput, air, dan api. Sebagaimana hadis, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu, padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Ketiga yang disebutkan dalam hadis tersebut wajib dikelola negara untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Hasil pengelolaan kekayaan alam wajib didistribusikan secara merata untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali dan tanpa memandang agama, bangsa, etnik, ras, dan sukunya. Alhasil, wajib bagi penguasa menyelenggarakan pelayanan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan transportasi yang berkualitas, mudah diakses, dan murah bahkan gratis untuk seluruh warga negara, termasuk rakyat Papua.

Ini kesejahtaraan hakiki yang dirindukan oleh rakyat Papua. Di tengah kekayaan alamnya yang melimpah, rakyat wajib hidup sejahtera. Kesejahtaraan yang sulit bahkan mustahil diwujudkan dalam naungan kapitalisme, menjadi sebuah keniscayaan dalam naungan sistem Islam. 

Tentunya kesejahteran ini dapat terwujud andai tuan-tuan penguasa di negeri ini mencampakkan kapitalisme sebagai biang kerok problematika Papua dan legawa menjadikan sistem Islam diterapkan secara komprehensif dalam bingkai negara. Wallahualam bissawab.