Ketika Tradisi Mendatangkan Petaka

Daftar Isi

 


Munculnya kasus antraks karena tradisi Brandu makin mengokohkan bahwa sistem kapitalisme sekuler gagal mengurusi urusan masyarakat. Gagal menyejahterakan rakyat. Sebab, sistem ini nyata tidak disandarkan pada syarak. Akal manusia dibiarkan sebagai penentu benar dan salah secara liar, tanpa disandarkan pada syariat Allah Swt. yang memuliakan.


Inilah penjagaan Islam untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Menjadikan manusia hidup dalam aturan agama sehingga paham dan sadar bagaimana selayaknya seorang hamba yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan fitrahnya sebagai mahluk yang berakal. 


Penulis Riani Andriyantih, A.Md.Kom.

Pegiat Literasi 


Siddiq-News.com -- Penyebaran penyakit antraks yang diderita masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akibat mengkonsumsi bangkai tengah menjadi sorotan. Dikabarkan oleh cnnindonesia[dot]com, 08/07/2023, puluhan warga kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta tertular penyakit antraks secara masif karena dipicu oleh tradisi Brandu yang masih dilestarikan. Tradisi Brandu merupakan tradisi penyembelihan hewan ternak yang sudah sakit atau mati mendadak yang selanjutnya dikonsumsi oleh masyarakat.

Miris memang, tradisi Brandu yang menuai penyakit tetap lestari di tengah masyarakat yang minim literasi. Menjadikan masyarakat mengabaikan bahaya besar yang akan didapat dari mengkonsumsi bangkai hewan ternak. Bukan hanya terancam wabah penyakit, masyarakat pun terancam merenggang nyawa.

Di sisi lain, faktor tidak meratanya kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi berdampak terkikisnya taraf berpikir logis. Tidak heran, meskipun sebagian masyarakat mengetahui bahaya mengkonsumsi bangkai hewan ternak, tetapi mereka tetap mengkonsumsinya dengan alasan sosial ekonomi dan asas gotong royong. Sehingga kerugian yang mereka derita secara nominal tidak terlalu besar.

Sugeng, Kepala Dusun Jati, Kelurahan Candirejo, Kapanewon Semenu, Gunung Kidul, menyebutkan bahwa setiap kepala keluarga yang berada di kelurahan tersebut ikut menanggung kerugian atas kematian hewan milik warga setempat. Hewan ternak yang sakit atau mati milik warga setempat akan disembelih, kemudian akan dijual kepada warga dengan harga yang lebih murah. (republika[dot]co[dot]id, 07/07/2023).

Tradisi Brandu menjadi gambaran betapa kesejahteraan makin jauh dikecap oleh masyarakat. Demi menutup kerugian akibat kematian hewan ternak, nyawa warga pun dipertaruhkan. Inilah potret buram masyarakat desa dalam cengkeraman sistem rusak bernama kapitalisme. Tradisi membawa petaka dilestarikan, syariatNya justru diabaikan.

Sejatinya, tradisi yang membawa petaka ini semestinya menjadi PR bagi penguasa sebagai pengatur dan pengurus urusan rakyat. Jangan sampai keadilan sosial yang tercantum dalam sila kelima dari Pancasila hanyalah slogan belaka tanpa pernah sungguh-sungguh dalam mewujudkannya.

Tradisi Brandu sejatinya juga menunjukkan kegagalan negara untuk menghentikan beragam tradisi yang justru membahayakan kesehatan masyarakat. Minimnya keseriusan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat mengenai bahaya dan pencegahan bahaya antraks berujung pada keengganan masyarakat untuk menghilangkan tradisi tersebut. Padahal ajaran Islam telah jelas mengharamkan mengkonsumsi bangkai hewan.

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, "Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang dan dua darah itu adalah hati dan limpa." (HR. Ibnu Majah, Nomor 3314).

Inilah penjagaan Islam untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Menjadikan manusia hidup dalam aturan agama sehingga paham dan sadar bagaimana selayaknya seorang hamba yang bersikap dan berperilaku sesuai dengan fitrahnya sebagai mahluk yang berakal. 

Akal yang dikaruniakan kepadanya adalah pemutus dalam setiap aktivitasnya. Apakah sudah sesuai dengan yang Allah Swt. perintahkan, yang berarti mendatangkan keridaan di sisiNya, atau justru menjalankan apa yang Allah Swt. larang, yang berarti bersiap mendapatkan kemurkaan Allah Swt.

Munculnya kasus antraks karena tradisi Brandu makin mengokohkan bahwa sistem kapitalisme sekuler gagal mengurusi urusan masyarakat. Gagal menyejahterakan rakyat. Sebab, sistem ini nyata tidak disandarkan pada syarak. Akal manusia dibiarkan sebagai penentu benar dan salah secara liar, tanpa disandarkan pada syariat Allah Swt. yang memuliakan.

Dalam naungan kapitalisme, para pemangku kebijakan pun seolah tidak pernah serius dalam menuntaskan berbagai macam problematika masyarakat hari ini. Sehingga kerusakan hilir-mudik terjadi bahkan mencapai titik kerusakan yang parah hingga salah kaprah.

Alhasil, kesejahteraan dan terjaminnya hajat hidup yang layak niscaya hanya dapat diraih saat aturan-aturan yang lahir di tengah rakyat berlandaskan standar kebenaran yang mutlak, yaitu syariat Allah Swt. Kesejahteraan ini niscaya terwujud andai para penguasa legawa menerapkan syariatNya secara komprehensif dalam bingkai negara. Wallahualam bissawab.