Kota Layak Anak, Layakkah Menjadi Harapan?

Daftar Isi


Daerah-daerah hanya ingin meraih prestasi, kebanggaan, dan gengsi, tanpa melihat realita yang terjadi. Fokus pada urusan administratif agar menang lomba dan mendapatkan penghargaan KLA. Bukan fokus untuk melindungi anak. Sedangkan upaya  perlindungan anak berbanding terbalik dengan penghargaannya.


Oleh Fadhilah Ummu Fikri

Aktivis Muslimah Kendari


Siddiq-news.com -- Kota layak anak masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. 


Dilansir dari Kemenppa (23/7/22022), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kembali menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2022 kepada 320 kabupaten/kota, yang terdiri dari 8 Utama, 66 Nindya, 117 Madya, dan 121 Pratama. Apresiasi juga diberikan kepada delapan  provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA). 


Penganugerahan KLA bertujuan agar terwujud sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing serta Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan Indonesia Emas 2045. 


Pemerintah melalui KemenPPPA mengimplementasikan kebijakan pembangunan KLA untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, perlakuan menyimpang lainnya, serta berpartisipasi aktif menyuarakan aspirasi dalam setiap keputusan yang menyangkut dirinya. 


Sebagai tindak lanjut penandatanganan World fit for children declaration  (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak (DLA) tanggal 10 Mei 2002 saat sidang umum PBB ke 27 khusus anak, pemerintah  telah meratifikasi Konvensi Hak Hak Anak (KHA) dengan berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Untuk mewujudkannya diawali dengan pengesahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang Berorientasi pada KHA. Lebih lanjut, negara  mengeluarkan beberapa peraturan nasional untuk lebih menguatkan program ini, yang nantinya akan dilaksanakan di daerah kabupaten di wilayah Indonesia, demi tercapainya Kota Layak Anak 2030.


KLA Antara Harapan dan Kenyataan


Menurut Peraturan Menteri (Permen) PPPA 13/2011, definisi KLA adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak. 


Ada lima klaster hak anak dalam penyelenggaraan KLA yang mengacu kepada Konvensi Hak Anak, yaitu hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, serta perlindungan khusus anak.  


Untuk merealisasikannya, pemerintah daerah yang menargetkan KLA, membuat berbagai program, diantaranya mendukung program wajib belajar hingga 12 tahun, sekolah ramah anak yang tidak menimbulkan kekerasan di dalam sekolah,  pemberian bantuan pada anak yang terjebak dalam kasus penyimpangan, layanan pengaduan anak, layanan kesehatan rehabilitasi dan bantuan hukum, pengasuhan berbasis hak anak, mendapatkan akta kelahiran, kartu identitas anak dan informasi layak anak, pencegahan gizi buruk dan stunting, hak atas pendidikan, dan hak bermain. 


Namun, sungguh ironis. Di tengah pemerintah sedang gencar-gencarnya mewujudkan program KLA, pada faktanya pengabaian terhadap hak-hak anak, eksploitasi, bahkan kekerasan terhadap anak masih marak terjadi. Di sepanjang tahun 2022, data KemenPPPA menunjukkan, ada 21.241 anak yang mejadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang mencapai 9.588 kasus. Data  KPAI mencatat, anak pelaku kriminal terdapat 54 kasus. Adapun data BNN mencatat, penyalahgunaan narkotika meningkat 11,1 persen, yakni sebanyak 851 kasus. Selain itu, masih banyak lagi persoalan yang dihadapi anak negeri ini, seperti putus sekolah, anak terlantar, eksploitasi anak, perdagangan anak, stunting, anak terpapar pornografi, seks bebas, L967  anak merokok, anak kecanduan game, anak korban perundungan, dan sebagainya. 


Demikian halnya yang terjadi di Kota Kendari. Walaupun meriah penghargaan KLA 2022 kategori Nindya, tidak berarti kondisinya baik-baik saja. Tercatat, di tahun 2022 lalu terdapat 40 kasus kekerasan terhadap anak, angka balita  stunting 365 orang, pernikahan dini akibat pergaulan bebas sebanyak 36 orang, dan pelaku kriminal anak atau remaja 77 kasus, meningkat 100 persen  dari tahun sebelumnya.


Ini hanyalah sebagian kecil kasus. Pada faktanya, masalah yang dihadapi anak hari ini sangatlah kompleks. Tampak jelas terabaikannya nasib mereka dalam mendapatkan hak pendidikan, kehidupan yang layak, serta perlindungan dan bimbingan untuk menjadi generasi berkualitas dan mulia. Hal  ini juga mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberikan jaminan sistem lingkungan yang dibutuhkan anak. KLA hanya sekadar slogan saja.


Daerah-daerah hanya ingin meraih prestasi, kebanggaan, dan gengsi, tanpa melihat realita yang terjadi. Fokus pada urusan administratif agar menang lomba dan mendapatkan penghargaan KLA. Bukan fokus untuk melindungi anak. Sedangkan upaya  perlindungan anak berbanding terbalik dengan penghargaannya. 


Terabaikannya hak-hak dan perlindungan anak merupakan salah satu problem nyata yang lahir dari sistem tatanan kehidupan yang sekuler, kapitalistik, dan liberalistik  yang diadopsi negeri ini. Sistem ini menjadi penyebab sulitnya mewujudkan keluarga ideal sebagai benteng pertama lahirnya generasi unggul. Belum lagi, tingginya biaya hidup memaksa banyak orang tua bekerja keras untuk bertahan. Tidak hanya ayah yang harus berjibaku dengan nafkah, para ibu juga harus kehilangan perannya karena rela bekerja keras demi menambal keuangan keluarga.  


Keluarga yang seharusnya menjadi fondasi awal pembentukan karakter dan pendidikan anak, justru menjadi benteng yang rapuh. Ia rentan tersusupi perusakan dari televisi, internet, dan gadget, yang memasukkan berbagai pemikiran, budaya, dan gaya hidup sekuler-liberal. Mahalnya kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, juga tuntutan materialisme, sering membuat orang tua harus mengedepankan pekerjaan dan mengabaikan anak-anak. 


Dalam sistem kapitalisme, fungsi perlindungan negara ini hampir tidak ada karena negara berfungsi sebagai regulator saja. Negara tidak boleh mengekang kebebasan rakyat. Akibatnya, pornografi, pornoaksi, perzinaan, dan pergaulan bebas mendapat tempat yang lapang di tengah masyarakat. Negara tidak boleh melanggar hak asasi sehingga tidak boleh menerapkan hukuman yang merenggut hak hidup, membredel media perusak moral, tidak boleh menghukum para pelaku hubungan sejenis, merajam para pelaku pemerkosaan anak, dan seterusnya. Negara menjadi mandul. Ia tidak memiliki kekuatan untuk bergerak menghentikan kerusakan masif terhadap generasi.


Upaya-upaya perlindungan anak, sama seperti berbagai aspek kehidupan lain, yakni diserahkan pada masyarakat dan LSM. Ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lembaga Perlindungan Anak (LPA), dan sebagainya. Upaya ini tentu tidak akan sanggup menyelesaikan masalah. Mereka hanya melakukan pendampingan korban, melakukan mediasi, rehabilitasi mental, dan sejenisnya, bukan menjauhkan anak dari ancaman dan bahaya yang mengintai mereka.


Lebih mirisnya lagi, pemerintah yang harusnya menjadi pilar paling kuat dalam melindungi dan memenuhi hak anak, kalah di hadapan pebisnis kaum kapitalis. Berdalih KLA, pembangunan kabupaten/kota lebih didominasi memenuhi keinginan pemilik modal dalam penataan kota. Hal itu terlihat dari pembangunan fisik, seperti alun-alun ramah anak, mall ramah anak, dan tempat-tempat wisata yang dibalut dengan slogan ‘layak anak atau ramah anak’. Sikap pemerintah yang kapitalistik inilah yang hakikatnya menjadi pangkal atas persoalan anak yang tak kunjung usai bahkan makin parah. 


Anak Terlindungi Hanya dengan Islam


Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu, anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, anak harus dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini, Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Islam mewajibkan keluarga untuk mendidik anaknya berdasarkan tuntunan syariah dan melindunginya dari segala hal yang merusak. 


Peran masyarakat juga penting, yakni  menciptakan lingkungan yang kondusif dengan dakwah melalui amar makruf ’ruf nahi munkar terutama pada penguasa yang abai. Selain itu, peran negara tak kalah penting. Sejatinya, negara hadir untuk melindungi anak dengan penerapan syariah secara kafah. Regulasi perlindungan anak senantiasa berasaskan akidah Islam agar terwujud generasi beriman dan bertakwa.


Inilah gambaran perlindungan anak dalam Islam. Bukan sekadar retorika belaka, atau hanya dibahas dalam forum-forum nasional dan internasional tanpa adanya realita. Islam hadir sebagai solusi dalam menjamin nasib anak di dunia dan juga akhiratnya. Maka, jaminan Islam terhadap anak dimulai dari jaminan hidup, baik saat berada dalam rahim ibunya hingga dia lahir ke dunia. Termasuk di dalamnya, jaminan pendidikan, keamanan, kesehatan, dan kehidupan sosial yang jauh dari kekerasan, baik fisik maupun seksual. 


Islam mewajibkan negara  menjadi benteng sesungguhnya yang akan melindungi generasi dari kerusakan apapun. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemis, meliputi berbagai aspek yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung. Setidaknya ada enam aspek yang menjadi fokus utama.


Pertama, pengaturan sistem ekonomi.

Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Negara wajib mengelola dan mendistribusikan seluruh hasil kekayaan milik umat untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok individu (pangan, papan, dan sandang) maupun kebutuhan dasar kolektif (kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan). Dengan demikian, beban keluarga menjadi lebih ringan dan pendidikan anak bisa berlangsung sebagaimana mestinya.


Kedua, pengaturan sistem pendidikan.

Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam bagi seluruh anak. Dengan itu, terbentuk kepribadian Islam pada anak yang standar berpikir dan bersikapnya adalah Islam. Pembentukan standar Islam inilah yang akan menyelamatkan para pemuda dari gempuran ide-ide Barat yang menyesatkan.


Ketiga, pengaturan sistem sosial. Sistem sosial mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Ini akan menghasilkan interaksi produktif dan saling tolong-menolong dalam membangun umat.   Perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga kesopanan. Mereka dijauhkan dari eksploitasi seksual. Berbagai aturan sosial ini akan menjamin naluri seksual hanya muncul dalam bentuk hubungan suami-istri dan menjauhkan dari hubungan di luar itu. Akhlak mulia pun dibangun di tengah masyarakat. Semua ini akan menutup rapat semua bentuk penyimpangan seksual, seperti seks bebas, L967, dsb.


Keempat, pengaturan media massa dalam menyampaikan informasi. Namun, mereka terikat kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.  Media informasi juga berperan dalam mengungkap kesalahan pemikiran, paham, ideologi, dan aturan sekuler-liberal. Media yang memuat pornografi, kekerasan, ide L967, dan segala yang merusak akhlak dan agama, akan dilarang terbit dan memberi sanksi bagi pelaku pelanggarannya.


Kelima, pengaturan sistem kontrol sosial.

Masyarakat yang bertakwa akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, suasana ketakwaan dibangun di tengah umat melalui berbagai kajian agama secara umum. Budaya amar makruf nahi munkar dihidupkan, sehingga orang merasa sungkan untuk melakukan perbuatan maksiat. Negara juga mengangkat Qadhi Hisbah. Mereka memiliki hak untuk menindak berbagai pelanggaran sosial, seperti khalwat laki-laki dan perempuan bukan mahram, pelanggaran cara berpakaian, perilaku menyimpang di tengah umum, dan sebagainya.


Keenam, pengaturan sistem sanksi.

Negara menerapkan sistem sanksi sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah Sang Hakim. Sanksi tegas yang menimbulkan efek jera, diberlakukan bagi para pelaku pelanggaran hukum syariat. Sistem sanksi ini akan mengerem upaya perusakan generasi dengan efektif.


Inilah meknisme Islam dalam membangun perlindungan yang utuh untuk anak-anak secara berlapis. Peran semua benteng baik orang tua, keluarga, maupun  masyarakat, berada di bawah naungan negara yang menerapkan syariah kafah. Dengan mekanisme ini, liberalisme, kapitalisme, dan ide perusak lainnya tidak akan mampu menyentuh anak-anak. Mereka akan tumbuh dan berkembang sebagai pribadi muslim yang tangguh, menjadi mutiara-mutiara di tengah umat, pejuang dan pembangun, dalam lindungan negara. 


Negara yang mampu melakukan fungsi besar itu, mau tidak mau haruslah negara yang kuat dan memiliki ideologi yang dipegang erat, yakni ideologi yang terpancar dari suatu akidah yang tidak lagi goyah. 

Wallahualam bissawab.