Strategi Sistem Islam dalam Menghapus Korupsi

Daftar Isi


Budaya korupsi telah menjadi penyakit kronis dalam demokrasi. Sebab sistem politik ini memang membutuhkan modal yang besar untuk berkuasa

Modal ini pastinya bukan berasal dari kantong pribadi, melainkan dari para korporasi yang memiliki modal besar


Penulis Eka Ummu Ahnaf

Kontributor Media Siddiq-News 


Siddiq-News.com - Akhir tahun lalu kita dihebohkan dengan harga minyak yang tidak wajar (mencapai Rp41.000,- per kg) disertai pula dengan kelangkaan minyak sehingga pembelian minyak pun dibatasi. Kisruh minyak goreng di dalam negeri tahun 2022 lalu kini berbuntut panjang.


Ditetapkannya 5 terdakwa tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) beserta turunannya sejak Januari 2021 hingga Maret 2022. Kelima tersangka itu adalah Indrasari Wisnu Wardhana (Pejabat Eselon 1 Kemenag), Pierre Tonggang Sitanggang (General Manager di bagian General Affair PT Musim Mas), Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), Stanley M.A. (Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari) serta Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia).


Kasus korupsi minyak goreng sejatinya sudah terjadi sejak lama, namun penetapan tersangka baru diumumkan belum lama ini. Bahkan saat terkuak ternyata kasus ini melibatkan perusahaan besar dan sejumlah pejabat. 


Fakta tersebut tentu menjadi bukti kesekian kalinya betapa bobroknya pejabat dan jahatnya perusahaan oligarki dalam sistem demokrasi kapitalisme. Budaya korupsi telah menjadi penyakit kronis dalam demokrasi. Sebab sistem politik ini memang membutuhkan modal yang besar untuk berkuasa. Modal ini pastinya bukan berasal dari kantong pribadi, melainkan dari para korporasi yang memiliki modal besar.


Maka ketika calon pejabat ini berkuasa mereka akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Juga dengan para korporasi mereka tentu meminta imbal balik karena sudah menginvestasikan kekayaannya untuk para pejabat tersebut.

Di sinilah pintu korupsi dan permainan oligarki terbuka lebar. Mereka akan saling bekerja sama untuk saling memudahkan kepentingan masing-masing. 


Kasus korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis tidak akan pernah bisa dihentikan kecuali dengan sistem pemerintahan Islam yang asasnya shahih yakni sistem Khilafah. Sistem Khilafah berdiri di atas akidah Islam dan menjadikan hukum syarak sebagai sumber kebijakan. 


Dari asas ini Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhsiyah memberitiga indikator kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pejabat yakni:


1.      Al Quwwah (kekuatan) bermakna kuat secara aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) sehingga seorang pemimpin melahirkan kebijakan yang benar sesuai syariat dan tidak tergesa-gesa, tidak emosiaonal dalam memutuskan perkara.


2.      At Taqwa (ketakwaan) akan menjadikan pemerintahan dalam Khilafah diisi oleh pejabat yang amanah terhadap tugasnya dan bertanggung jawab terhadap rakyat dan Allah Swt. kelak di hari kiamat. 


3.      Al Rifq bi Ar Ra’iyyah (lembut terhadap rakyat) dan tidak menyakiti hati, criteria ini akan menjadikan para pejabat semakin dicintai dan tidak ditakuti rakyatnya.


Dengan kriteria ini pihak-pihak yang mengurusi umat adalah orang-rang terpercaya dan bekerja hanya untuk kepentingan islam dan kaum muslimin. Sistem dan para pejabatnya disuasanakan baik sesuai dengan porsinya. Islam tidak menafikkan mungkin ada oknum yang masih bisa melanggar aturan.


Karenanya Khilafah akan membentuk dewan keuangan untuk mengawasi jumlah harta para pejabat Khilafah agar jumlahnya sesuai dengan seharusnya. Maka Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi melakukan kecurangan atau tidak, maka akan ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 


Secara teknis BPK Khilafah akan mealakukan pembuktian terbalik untuk menyelidiki pejabat yang diduga korupsi. Pembuktian terbalik dilakukan dengan mencatat harta kekayaan diawal dan diakhir jabatannya. Bila ada kenaikan harta yang tidak wajar dan yang bersangkutan tidak dapat menjelaskan sumber harta tersebut, maka kelebihan harta tersebut dihukumi sebagai harta ghulul yang dimasukkan ke dalam pos kepemilikan negara Baitul Mal dan pelakunya akan dikenai sanksi takzir oleh Khilafah.


Cara inilah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Pembuktian terbalik ini sangat efektifdan mekanismenya tidak berbelit. Sehingga kasus korupsi akan mudah teridentifikasi. Seperti inilah khilafah menumpas kecurangan baik ditingkat sistem pemerintahan dan pejabat. Alhasil kehidupan masyarakat menjadi tenteram dan sejahtera sehingga mereka menikmati minyak goreng dengan harga terjangkau karena tidak ada lagi permaianan korporasi maupun oligarki.