KUA untuk Siapa?

Daftar Isi

Pluralitas sangat berbeda dengan pluralisme

Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama, sedangkan pluralitas adalah keberagaman


Penulis Iin Indrawati

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Menag Yaqut Cholil Qoumas berbicara mengenai peluang perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Hal ini menyusul adanya wacana Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pelayanan semua agama. Termasuk di antaranya akan menjadi tempat menikah bagi semua agama (detikhikmah, 1/3/2024).


Usulan KUA sebagai pusat layanan keagamaan lahir untuk mengakomodasi keperluan masyarakat, sehingga mempermudah pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada mereka. Menurutnya, KUA dapat dijadikan hub (pusat pelayanan) untuk Dukcapil.


Pasal 8 ayat (2) UU tentang Adminduk menyatakan bahwa pelaksanaan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan di KUA hanya berlaku bagi penduduk beragama Islam. Dilansir dari InilahKoran (28/2/2024), setelah adanya wacana terbaru, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung pun tidak keberatan jika Kantor Urusan Agama (KUA) mencatat pernikahan warga nonmuslim, dan aulanya digunakan sementara untuk peribadatan mereka. 


Gagasan yang muncul dari Kemenag ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem sekulerisme yang menjunjung kebebasan beragama, sehingga mengharuskan negara untuk menjaminnya. Pada akhirnya semua agama harus diperlakukan sama, tanpa memperhatikan batasan yang diperbolehkan atau yang dilarang Islam.


Kemenag yang awalnya dibentuk untuk kepentingan umat Islam beralih fungsi menjadi pelayan seluruh agama dengan dalih toleransi dan menghargai agama lain. Hal ini secara tidak langsung membenarkan agama lain.


Di sini tampak jelas bahwa pluralisme di negeri ini sudah sangat kuat merasuki pikiran umat Islam. Sedangkan paham pluralisme itu sendiri sangat bertentangan dengan Islam, karena menganggap semua agama benar.


Menguatnya pluralisme di tengah masyarakat akan mengaburkan pemahaman yang hakiki bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, yang diridai Allah Swt.. Apalagi dengan melemahnya pemahaman umat Islam terhadap Islam itu sendiri akibat pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini.


Kebijakan pemerintah yang menyatukan urusan perkawinan dalam satu institusi merupakan bentuk ikut campur ajaran agama selain Islam. Gagasan ini sejalan dengan pengarusan gagasan moderasi Islam yang masih masif dilakukan di seluruh dunia Islam.


Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki akidah yang terpancar darinya aturan kehidupan. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai ideologi dan menghambat kebangkitannya. Barat tidak rela bila kepemimpinan Islam tegak, demi mengukuhkan hegemoni kapitalisme global di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam.


Islam memandang adanya pluralitas, sebab ini adalah sesuatu yang wajar yang harus diterima sebagai kenyataan. Bahkan saat Islam tegak, masyarakatnya berasal dari berbagai suku, dan banyak pula nonmuslim yang tinggal di negara Islam, yang dikenal dengan kafir dzimmi.


Akan tetapi, pluralitas sangat berbeda dengan pluralisme. Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama, sedangkan pluralitas adalah keberagaman.


Selama belasan abad, Islam berhasil menyatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Warga nonmuslim sekalipun, jiwa dan kehormatannya terpelihara dalam naungan syariat Islam. Di bawah naungan khilafah Islam, kaum muslimin berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di tengah umat manusia.


Syariat Islam menetapkan agar setiap muslim dan nonmuslim mendapat jaminan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan, serta pendidikan, kesehatan dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam ini, gejolak sosial dan konflik di masyarakat dapat dihilangkan, sehingga tercipta kerukunan.


Islam memiliki aturan yang rinci yang menangani urusan kaum muslimin dan nonmuslim yang hidup di bawah naungan negara khilafah. Dalam hal pernikahan, kaum nonmuslim diizinkan untuk menikah antarmereka berdasarkan keyakinannya. Mereka bisa dinikahkan di gereja atau sinagog oleh pendeta atau rabbi. Kemudian mereka dapat bercerai menurut aturan agama mereka. Negara tidak ikut campur dalam urusan privat nonmuslim. Adapun dalam hubungan sosial kemasyarakatan, mereka wajib mengikuti syariat Islam, seperti sistem sanksi, peradilan, pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri.


Negara Islam akan menegakkan aturan-aturan Islam kepada semua orang secara sama, tidak memandang muslim atau nonmuslim. Beginilah khilafah memperlakukan umat nonmuslim yang berada dalam kekuasaannya. Penerapan sistem Islam ini benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bissawab. []