Tarif Listrik Terus Naik, Rakyat Kian Panik

Daftar Isi


Kapitalisme meniscayakan pengelolaan SDA termasuk listrik diserahkan kepada pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan

PLN walaupun perusahaan milik negara, tapi pasokannya masih bergantung pada swasta termasuk asing


Oleh Ummu Naufal

Ibu Rumah Tangga


Siddiq-news.com, OPINI -- Memasuki bulan suci Ramadan harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, seolah menjadi sebuah tradisi yang harus dihadapi. Ditambah adanya rencana kenaikan listrik, bagaimana masyarakat tidak panik? Walaupun akhirnya keluar keputusan bahwa untuk sementara kenaikan itu ditunda.


Hal tersebut berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) bahwa tidak akan menaikkan tarif listrik untuk Maret 2024. Ketetapan ini bersamaan dengan pengumuman tarif listrik triwulan I pada Januari 2024. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman P. Hutajulu mengatakan bahwa pemerintah memiliki pertimbangan dalam penetapannya. Kebijakan ini berlaku bagi 13 pelanggan nonsubsidi dan 25 golongan pelanggan bersubsidi. Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8. (Fajar[dot]co[dot]id, 24/2/2024)


Listrik merupakan bagian dari kebutuhan pokok yang digunakan sebagai sumber energi untuk mendukung kelancaran kehidupan seperti penerangan, penghasil energi panas, menyalakan alat elektronik, meringankan  pekerjaan, dan lain sebagainya. Alih-alih dimudahkan dengan harga yang terjangkau, masyarakat harus menerima kenyataan pahit atas rencana kenaikannya. Karena kalaupun ditunda untuk sementara waktu bukan berarti tidak ada rencana kenaikan kedepannya. 


Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya. Namun sayang, akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekular, tidak berimbas kepada kesejahteraan rakyat. Dari tahun ke tahun, seiring dengan bergantinya pemimpin kehidupan makin meresahkan. Beban berat sangat dirasakan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. Janji kampanye yang membius harapan rakyat tak kunjung terealisasi. Karena sejatinya kapitalisme-lah yang menjadi biang keladi.


Kapitalisme meniscayakan pengelolaan SDA termasuk listrik diserahkan kepada pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan. PLN walaupun perusahaan milik negara, tapi pasokannya masih bergantung pada swasta termasuk asing. Selain itu dengan alasan menciptakan kekondusifan usaha, maka harga tarif listrik harus menyesuaikan dengan turun naiknya nilai mata uang dunia.


Kapitalisme juga memosisikan penguasa hanya sebagai regulator bukan pengayom. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai kemampuannya. Subsidi hanya solusi tambal sulam. Kesejahteraan hidup dalam sistem kapitalisme hanyalah wacana yang terus diwacanakan entah sampai kapan.


Kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam dalam pengelolaan listrik. Rasulullah saw. bersabda: ”Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yakni air, padang rumput dan api ....” (HR. Al-Humajah). Yang dimaksud "api" dari hadis tersebut adalah termasuk di dalamnya batu bara, minyak tanah, bensin, juga listrik. Semuanya dikategorikan milik umum yang pengelolaannya dibebankan kepada negara. Karena milik umum maka rakyat harus menikmatinya tanpa membayar, ataupun kalau membayar harus dengan harga semurah-murahnya. Hasil penjualannya pun harus dikembalikan kepada rakyat berupa pemenuhan fasilitas umum misalnya atau biaya lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.


Dalam Islam, kedudukan penguasa dalam hal ini negara adalah  pelayan bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Imam atau khalifah adalah Raain atau pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al Bukhari)


Ketika berbicara mengenai pelayanan, hal tersebut masuk ke dalam hak dan kewajiban yang pelaksanaanya terlepas dengan urusan untung dan rugi. Begitu juga dengan penyediaan sumber listrik  murah bahkan gratis, seharusnya menjadi kewajiban negara dan hak bagi masyarakat. Mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pemurnian, pengolahan hingga menjadi barang yang siap untuk didistribusikan kepada masyarakat menjadi tanggung jawab negara. 


Negara yang menerapkan sistem Islam tidak bergantung kepada kebijakan pasar bebas ala kapitalisme. Kebijakannya independen sesuai ketentuan syariat dari Penciptanya. Agama dijadikan panduan dalam segala hal termasuk pengelolaan listrik dan sumber daya alam lainnya. Sepanjang sejarah Islam terbukti mampu menyejahterakan rakyat sampai pada tingkat tidak ditemukan seorangpun yang berhak menerima zakat. Tidak adanya yang berhak menerima zakat menjadi standar kecukupan umum bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim. Tidak akan ada pungutan pajak selain ketika negara dalam keadaan darurat. Itupun hanya dipungut dari muslim kaya saja. Tidak seperti saat ini, harga-harga mahal masih dibebani dengan pembayaran berbagai pajak.


Semoga saja kondisi makin terpuruknya kehidupan dalam sistem kapitalisme sekular menyadarkan mayoritas kita semua untuk segera kembali kepada sistem Islam yang penuh keberkahan.

Wallahualam bissawab. []