Pajak, Memakmurkan Pengusaha Menyengsarakan Rakyat?

Daftar Isi

Dalam Islam, pajak tidak diwajibkan negara tanpa adanya kebutuhan yang mendesak

Pajak tidak diwajibkan pula oleh negara dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk urusan administrasi negara


Penulis Siti Rohmah, S.Ak

Pemerhati Kebijakan Publik


Siddiq-news.com, OPINI -- "Pajak ialah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (ensiklopedia)


Baru-baru ini pemerintah kembali memberikan umpan kepada para pengusaha agar mau berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Adapun salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). Tak tanggung-tanggung pemerintah menawarkan 9 insentif PPh kepada pengusaha/pelaku usaha atau investor yang menanamkan modalnya atau mendirikan usahanya di IKN. Kontan.co.id, (19-02-2024).


Memakmurkan Pengusaha

Sistem ekonomi kapitalisme sangat lemah. Menjadikan pajak sebagai pemasukan utama. Sistem ini jelas sangat membebani rakyat meski rakyat dikelabui dengan berbagai slogan.

Ironisnya, berkurangnya target pemasukan pajak memicu negara mengeluarkan berbagai kebijakan demi membantu rakyat ‘pengusaha’, seperti tax amnesty dan insentif lainnya. Negara pun dapat mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara.


Inilah buah busuk yang dihasilkan sistem saat ini. Pemerintah memakmurkan pengusaha dengan berbagai regulasi. Sedangkan rakyat makin tercekik dengan makin tinggi biaya hidup. Padahal banyak sekali potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, potensi laut, hutan, air, tambang, dan lainnya. Namun, kenyataan nya hasil dari sumber daya alam tersebut tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat melainkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran pengusaha. 


Rakyatlah yang dijadikan sapi perah dengan berbagai cara. Banyaknya pemungutan pajak yang sedemikian rupa bahkan sampai mencekik rakyat, tak mampu memberikan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, banyak petugas pajak melakukan korupsi ratusan juta.


Pajak Dalam Islam

Islam memiliki berbagai macam sumber pemasukan, sehingga daulah Islam bisa menjadi negara yang kaya.

Islam melarang adanya pajak  kecuali pada kondisi tetentu. Ketika ada kebutuhan rakyat yang mendesak pada saat baitulmal kosong. 


Pajak adalah harta yang Allah wajibkan atas kaum muslim untuk pembiayaan berbagai kebutuhan yang diwajibkan atas mereka ketika di baitulmal tidak ada uang atau harta. Ketentuan pajak di dalam Islam ialah hanya diambil dari umat Islam yang memiliki harta berlebih setelah kebutuhan primer dan tersiernya tercukupi. Nonmuslim dan orang yang memiliki harta pas-pasan tidak diambil atau dipungut pajak.


Selain itu, syarat pemungutan pajak jika memang kondisi keuangan di baitulmal tidak mencukupi untuk kebutuhan yang seharusnya dikeluarkan secara rutin oleh negara, di antaranya:

Pertama, untuk membiayai jihad dan semua hal yang berkaitan dengan jihad, seperti membentuk pasukan yang kuat, latihan militer, menyiapkan peralatan militer canggih yang mampu membuat musuh gentar. Berdasarkan firman Allah Swt. di dalam Al-Qur'an surah at-Taubah ayat 41, "Dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah.."


Kedua, untuk membiayai industri militer dan pabrik-pabrik penunjangnya, sehingga negara memiliki industri senjata. Karena jihad butuh pasukan, dan pasukan butuh senjata untuk berperang. Agar senjata yang diperlukan mencukupi dan memenuhi kriteria yang tinggi diperlukan industri. Dengan demikian, industri militer sangat berkaitan dengan jihad.


Ketiga, untuk membiayai fakir, miskin, dan ibnu sabil. Pembiayaan bagi mereka harus tetap dilakukan, baik di baitulmal terdapat uang ataupun tidak.


Keempat, untuk membiayai gaji para pegawai, tentara, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan melayani umat Islam. Mereka berhak memperoleh upah atau gaji dari baitulmal atas pekerjaannya. 


Kelima, untuk membiayai kemaslahatan dan kemanfaatan umat yang sangat dibutuhkan. Karena apabila tidak dibiayai maka akan berbahaya pada umat. Misalnya, untuk pembiayaan sekolah-sekolah, jalan-jalan umum, rumah sakit, dan lain-lain.


Keenam, untuk membiayai kebutuhan umat jika terdapat keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan, atau mengusir musuh. Walaupun peristiwanya belum terjadi, negara memandang pembiayaan ini tetap dilakukan baik ada uang atau harta maupun tidak di baitulmal.


Jika di baitulmal ada harta, maka langsung diambil dan dikeluarkan dari harta tersebut secara langsung. Namun, jika di baitulmal tidak ada harta maka kewajibannya beralih kepada kaum muslim dengan pemungutan pajak. Jadi, pemberlakuan pajak dalam Islam adalah solusi atau alternatif paling terakhir.  


Dalam Islam, pajak tidak diwajibkan negara tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Pajak tidak diwajibkan pula oleh negara dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk urusan administrasi negara. Negara tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah, pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan, atau lainnya yang bukan bagian dari bentuk-bentuk pajak yang telah dijelaskan di atas. Jika negara tetap mewajibkannya berarti negara telah zalim dan ini dilarang berdasarkan hadis Rasulullah saw., "Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai." (HR Abu Dawud)


Maka, hanya dengan di terapkanya hukum allah, segala urusan akan teratasi. Wallahualam bissawab. []