Peran Negara dalam Islam, Mengayomi dengan Keimanan

Daftar Isi

Cara pandang kapitalisme bahwa air sebagai barang ekonomi adalah paradigma yang rusak

Asas manfaat yang dianutnya telah memandang bahwa air adalah komoditas yang bisa menghasilkan keuntungan


Penulis Neneng Sriwidianti

Pengasuh Majelis Taklim


Siddiq-news.com, OPINI --  "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR Bukhari)


Sosok pemimpin adalah seperti yang digambarkan dalam hadis di atas. Pemimpin bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan dan urusan rakyatnya. Mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan juga keamanan.


Namun sayang, pelayanan masyarakat dari penguasa hari ini tidak bisa didapatkan sebagaimana mestinya. Penguasa baru bergerak ketika ada tuntutan dari rakyat, itupun terkesan asal-asalan.


Seperti yang menimpa warga di Jalan Cibangkong RW 5, Kelurahan Meleer, Kecamatan Batu Nunggal. Pipa PDAM Tirtawening yang pecah telah meluluhlantakkan pemukiman tersebut. (detikjabar, 5/6/2024)


Akibat dari jebolnya pipa tersebut, bukan hanya warga yang mengalami kerugian karena kehilangan rumah yang terdampak banjir, tetapi juga ada 90.000 warga Kota Bandung yang terdampak hambatan aliran air PDAM yang tidak akan berfungsi normal. Aliran air yang sampai ke rumah akan terganggu. Karena penyelesaian yang jebol memerlukan waktu yang cukup lama. Masalah PDAM ini bukan kali pertama, aliran PDAM juga sering berhenti bahkan sampai berbulan-bulan. Masyarakat akhirnya malas untuk mengadu karena tidak ada tanggapan dari pihak terkait.


Paradigma Kapitalisme yang Rusak

Air adalah kebutuhan primer dan harus ada di  di muka bumi. Negara wajib menjamin hak rakyat atas air ini guna memenuhi kebutuhan pokok bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, dan terjangkau. Sumber daya air tidak boleh dimiliki dan/atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, ataupun badan usaha.


Namun, kalau kita lihat saat ini, sumber air yang seharusnya dikelola oleh negara, justru diprivatisasi dan investasinya dimiliki oleh badan usaha maupun perorangan. Mereka diberikan hak dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Sungguh ironis. Hal ini berakibat kepada terbatasnya masyarakat umum mengakses air tersebut, bahkan harus membayar mahal untuk memperoleh dan memanfaatkannya.


Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memberikan penguasaan area perairan umum oleh swasta, baik pribumi maupun asing, juga perusahaan air minum yang sudah diprivatisasi dengan go public untuk para investor.


Itulah yang menyebabkan kebutuhan air masyarakat menjadi terbatas bahkan sulit didapatkan. Pihak negara yang seharusnya melayani bertindak menjadi pedagang yang harus mencari untung. Negara tunduk terhadap para pengusaha. Realitas ini muncul dari paradigma yang salah, dan bukan hanya terjadi di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia.


Kembali Kepada Islam, Solusi Masalah Air

Cara pandang kapitalisme bahwa air sebagai barang ekonomi adalah paradigma yang rusak. Asas manfaat yang dianutnya telah memandang bahwa air adalah komoditas yang bisa menghasilkan keuntungan. Padahal, aturan Allah Swt. Sang Mudabbir, telah menetapkan air sebagai kebutuhan dasar manusia sehingga wajib untuk dipenuhi.


Karena, tidak optimalnya penyediaan air bisa berakibat fatal pada keselamatan manusia, bahwa nyawa manusia. Manusia secara individual memang bisa memenuhi kebutuhannya atas air. Namun, ketersediaan sumber air merupakan urusan yang bersifat  komunal karena sumber air digunakan secara bersama-sama oleh masyarakat.


Oleh karenanya, peran negara sangat dibutuhkan untuk menjamin pemenuhannya. Sehingga sumber air tidak boleh diprivatisasi. Negara wajib mengelolanya untuk kebutuhan masyarakat bahkan bisa menikmatinya secara gratis.


Negara tidak boleh abai terhadap pengurusan air, terkait pengambilannya, distribusinya dan keamanannya. Sehingga tidak ada kasus seperti yang terjadi di Kota Bandung akibatnya tidak maksimalnya penguasa mengurusi rakyat.


Kewajiban pengelolaan air oleh penguasa sesuai dengan kaidah syarak, "ma laa yatimmu al-wajibu Illa bihi fa huwa wajib," yang artinya "Air dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai kewajiban sehingga wajib untuk diadakan."


Sungguh, negara yang mampu menyediakan air bagi rakyatnya adalah negara yang memosisikan dirinya sebagai raa'in (pengurus dan penanggung jawab) bukan sebagai pedagang sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini. Khilafah adalah satu-satunya negara yang bisa memberikan pelayanan dan pengaturan air secara maksimal dan disertai keimanan, karena seorang pemimpin menyadari bahwa suatu saat pengurusannya terhadap rakyat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.


Negara juga akan mengerahkan segala upaya akan tersedianya air  untuk masyarakat. Mulai dari menempatkan SDM yang kompeten untuk mengolah sumber daya air, pendistribusian yang benar, teknologi yang mumpuni, serta pelayanan yang berkelanjutan. 

Maka, saatnya kita segera berjuang untuk menegakkan Islam kafah agar permasalahan air ini bisa tuntas, kebutuhan rakyat terhadap air akan terpenuhi.

Wallahualam bissawab. []