UU KIA, Solusikah bagi Ibu dan Anak?

Daftar Isi

Kenyataannya dalam sistem kapitalisme ini perempuan memang disibukkan dengan keinginan yang tak ada habisnya

Perempuan dibuat materialistik dan hedonis


Penulis Sri Yana, S.Pd.I.

Pegiat Literasi


Siddiq-news.com, OPINI -- Ibu dan anak adalah suatu hal yang tak terpisahkan. Sudah sunatullah bahwa seorang ibu itu melahirkan anak. Ibu juga dianugerahkan Allah Swt. untuk menyusui dan mengurusi anak-anaknya. Namun, di zaman sekarang banyak para perempuan bekerja. Sebab, munculnya pandangan masyarakat jika perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga saja tanpa memiliki pekerjaan atau penghasilan tambahan dianggap kuno.


Ada pula anggapan bahwa perempuan yang tidak memiliki karir atau pekerjaan yang bagus di masa depan akan kesulitan mencari nafkah apabila suami meninggal atau pun bercerai dengan suami. Jadi perempuan harus mandiri secara finansial dan dapat menghidupi dirinya sendiri.


Sayangnya, dalam naungan kapitalisme saat ini, muncul banyak persoalan terkait perempuan yang bekerja. Niat hati ingin mencari pundi-pundi rupiah, faktanya tidak sedikit pula kewajiban yang ditinggalkan terkait perannya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Berbagai aturan pun dibuat untuk mengakomodir peran perempuan baik di ranah domestik maupun publik. 


Terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa (4/6/2024). Dengan adanya UU KIA ini perempuan memiliki hak cuti melahirkan selama 3 bulan, dan 6 bulan bagi ibu yang melahirkan dengan penyakit kronis. Sehingga tidak memungkinkan bekerja. (Kompas, 4/6/2024).


Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, pun menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) tersebut tidak akan mendiskriminasi perempuan. Pernyataannya tersebut merespons anggapan UU KIA dinilai mendiskriminasi perempuan di tempatnya bekerja. (tirto, 7/6/2024).


Permasalahan yang muncul bukan adanya diskriminasi atau tidak terhadap perempuan. Namun, hal ini dikembalikan lagi kepada peran utama seorang ibu. Dengan jaminan bahwa bekerja tidak melalaikan perannya sebagai ummu warobbatul bait. Sebab, bekerja hukumnya mubah. Jika seorang ibu tidak dapat menjalankan peran keibuannya dengan baik maka alangkah baiknya fokus mengurus urusan rumah tangga saja. Namun, bagi kaum ibu yang dapat menjalankan kedua perannya tanpa mengesampingkan peran utamanya dibolehkan. 


Kenyataannya dalam sistem kapitalisme ini perempuan memang disibukkan dengan keinginan yang tak ada habisnya. Kehidupan merasa kurang yang tak ada cukupnya. Perempuan dibuat materialistik dan hedonis. Terkadang bekerja bukan karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu suami, melainkan hanya sekadar ingin dipandang hebat atau keren. Padahal sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia di sisi Allah Swt..


Dalam sabdanya, Rasulullah saw. menyebutkan kata ibu tiga kali sebelum kata ayah. "Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, "Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia berkata lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia berkata lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia berkata lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ayahmu." (HR Bukhari dan Muslim)


Begitu mulianya penyematan ibu dalam sabda Rasulullah saw. Sejatinya bangga mendapatkan gelar ibu warabbatul bait. Jangan sampai menjadi ibu yang enggan atau malu bergelar seorang ibu, walaupun tidak memiliki gelar sarjana atau jabatan. Sebab, derajat yang tertinggi di hadapan Allah adalah keimanan dan ketakwaan. Bukan jabatan atau harta yang banyak, melainkan menjadikan anak-anaknya sebagai pemimpin peradaban Islam seperti Muhammad Al-Fatih ataupun Shalahuddin Al-Ayyubi. 


Untuk mencetak generasi hebat inilah diperlukannya sistem Islam yang mampu mensejahterakan ibu dan anak. Sebab, dalam sistem Islamlah ibu akan dimuliakan dan dijaga kewarasannya tanpa wajib bekerja seperti laki-laki. Sehingga fokus mengurusi dan mendidik anak-anak. Toh jika bekerja di ranah-ranah yang tidak seharian harus bekerja. Namun, disesuaikan atau memiliki jam kerja yang lebih pendek dibandingkan para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga. 


Dengan sistem Islam inilah niscaya menjadikan para ibu dan anak dapat sejahtera tanpa UU KIA yang kapan saja dapat berubah sesuai kepentingannya. Walhasil, solusi Islamlah yang mampu mensejahterakan ibu dan anak. Wallahualam bissawab. []